Teori Matematika dalam Jurnalisme

Rabu, 23 Juli 20080 comments

oleh Sri Nanang Setiyono

Siapa bilang antara jurnalisme dan matematika itu sangat jauh kaitannya. Sebaliknya, kedua cabang ilmu itu memiliki hubungan sangat erat. Jurnalisme walau diakui sebagai cabang ilmu komunikasi, sebenarnya justru penganut kaidah-kaidah matematika yang taat.

Bukan omong kosong bila jurnalisme selalu menuntut adanya transparansi, akuntabilitas, validitas, dan kepastian fakta. Seperti matematika, jurnalisme pun mengharamkan terjadinya kekacauan data, kesuraman (ketidakjelasan) narasumber, mencampurkan opini dalam reportase, dan mengarang atau memalsukan data. Pendeknya, jurnalisme yang bagian dari ranah ilmu sosial, berjalan beriring dan segendang sepenarian dengan matematika yang berada di wilayah ilmu-ilmu eksakta.

Prinsip Matematika

Bila dikaji lebih dalam, tampak jelas bahwa jurnalisme menerapkan prinsip-prinsip matematika secara ketat. Salah satunya adalah teori probabilitas (peluang/kemungkinan) yang dikenal luas dalam statistika - salah satu anak cabang matematika. Teori ini bertujuan mendapatkan data seakurat mungkin agar diketahui jarak pasti dari kondisi ideal.

Dalam jurnalisme, kondisi ideal itu adalah fakta seakurat mungkin dan kebenaran sebenar-benarnya. Namun untuk mendapatkan fakta seakurat mungkin tidaklah mudah dan kebenaran sendiri memiliki banyak klaim. Oleh karena itu, diperlukan metode yang diterima semua pihak untuk mendekati kondisi ideal alias fakta yang 100 persen akurat.

Dalam teori probabilitas disebutkan nilai probabilitas (peluang) adalah jumlah peluang yang tersedia dibagi jumlah yang memperebutkan. Secara matematis rumusnya sbb:

p = x / n
(dengan p nilai probabilitas, x jumlah peluang yang tersedia, n jumlah yang memperebutkan peluang)
Sebagai ilustasi adalah peluang mendapatkan kursi PNS dalam tes CPNS. Misalnya ada 100 peserta CPNS dan hanya 5 posisi yang diperebutkan, maka peluang tiap peserta adalah 5/100 atau 1/20. Dengan kata lain, agar bisa diterima menjadi PNS, tiap peserta CPNS harus bisa menyisihkan 19 saingannya.

Teori peluang ini diterapkan dalam mendapatkan fakta dari narasumber. Agar data yang digali dari narasumber adalah fakta (bukan rekayasa atau opini narasumber) maka kehati-hatian saat wawancara mutlak diperlukan. Harus disadari, tiap narasumber memiliki agenda tersembunyi saat berbicara kepada wartawan. Ada yang karena ingin dipuji, ingin mendapat simpati, ingin menyerang pihak lain, atau ingin menyembunyikan sesuatu. Di sisi lain, wartawan sejak pertama kali datang juga memiliki modal pemahaman yang bias terhadap suatu peristiwa. Penyebabnya karena memiliki keyakinan politik berbeda, latar belakang budaya dan pendidikan, interes pribadi, kebijakan media tempatnya bernaung, tekanan pihak lain, atau ketidaktahuan terhadap suatu masalah.

Narasumber

Misalkan kita mewawancarai tokoh A. Jumlah kemungkinan jawaban yang diberikan hanyalah dua yaitu benar atau salah. Artinya peluang mendapatkan informasi benar adalah ½. Begitupun peluang mendapat informasi salah adalah ½. Dari tiap pertanyaan yang diajukan pun peluang mendapat informasi benar adalah ½. Misalkan ada 10 pertanyaan yang diajukan, maka peluang mendapatkan informasi yang benar adalah 5/10 atau ½. Artinya ada peluang 5 jawaban yang diajukan tokoh A adalah benar dan 5 jawaban yang lain salah.

Alasan ini pula yang menyebabkan, narasumber tunggal dalam reportase jurnalistik sangat tidak dianjurkan. Wartawan yang hanya bisa mendapat satu narasumber dianggap sebagai wartawan tak profesional dan sering terjadi pada wartawan pemula. Editor atau redaktur selalu menekankan agar wartawan memperbesar peluang meraih informasi yang benar yaitu bergeser dari ½ ke arah angka 1 alias 100 persen. Caranya dengan memperbanyak narasumber dalam satu laporan jurnalistik. Makin banyak narasumber, peluang mendapat fakta dan kebenaran makin besar, itupun dengan catatan narasumber yang diwawancarai adalah yang kompeten. Pada saat yang sama memperkecil peluang terjadinya bias atau kesalahan data.

Sebagai contoh, bila kita mendapat 5 narasumber kompeten dan 2 narasumber tak berkompeten, maka peluang mendapat informasi akurat lebih besar dibanding peluang mendapat informasi salah.

Dalam jurnalisme memperkecil kesalahan data dilakukan dengan teknik cek dan ricek. Yaitu melakukan pemeriksaan ulang terhadap informasi yang diperoleh wartawan dari narasumber atau dari pihak lain. Pemeriksaan bisa menggunakan pembanding referensi, menanyakan ulang ke narasumber, mendatangi lokasi peristiwa, memutar balik pita rekaman (bila informasi direkam tape recorder), memeriksa foto dan lain-lain.

Teknik lain yang dipakai adalah cover both story (liputan dari dua sisi). Biasanya teknik ini dipakai untuk reportase terhadap konflik antara dua pihak. Kedua pihak harus diwawancarai dan disajikan dalam reportase yang berimbang. Lagi-lagi bertujuan agar mendapatkan data seakurat mungkin yaitu memperkecil peluang timbulnya informasi yang keliru. Namun teknik ini pun belum cukup karena terkesan menyuguhkan konflik semata. Pihak ketiga yang netral layak menjadi narasumber untuk menilai konflik yang terjadi dan tentu saja mengurangi terjadinya bias.

Sesungguhnya masih banyak teori matematika menjelaskan prinsip-prinsip jurnalisme. Seperti aljabar Boolean, persamaan Shannon, teori deret hitung dan lain-lain.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ekonik3 - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger