Tulisan
ini adalah catatan praktis untuk belajar jurnalistik dan bisa jadi pegangan
untuk seorang wartawan. Sudah banyak buku-buku kewartawanan yang ada, maupun
buku-buku jurnalistik secara umum . Namun tulisan ini lebih bersifat praktis
karena dipakai mengajar untuk mahasiswa yang menekuni pers kampus. Kumpulan
tulisan ini adalah materi pelatihan yang diberikan Putu Setia dalam berbagai
kesempatan, untuk tingkat lanjut. Nanti, akan ditayangkan pula tingkat dasar
seperti, apa itu berita, bagaimana mencari berita (teknik reportase), teknik
wawancara, bagaimana menulis berita untuk koran dan majalah, dan sebagainya.
Pada akhirnya nanti akan ada tumpang tindih ketika membicarakan masalah bahasa
dan penulisan. Jika Anda berminat belajar lebih jauh dan ingin jadi wartawan,
kontak Putu Setia di email: jerosetia@yahoo.co.id
Teknik Pengolahan Data
Menjadi pembicara pada Latihan Ketrampilan Penerbitan Kampus Mahasiswa (LKPKM)
se-Indonesia bukan yang pertamakali buat saya. Pada LKPKM tingkat dasar di UGM
Yogyakarta saya sudah menjadi pembicara. Namun, saya tak tahu pasti, apakah
pesertanya sama, atau sebagian sama. Atau adakah yang di Denpasar sekarang ini
(tingkat pembina) adalah kelanjutan dari Yogya (tingkat dasar) dan Padang (untuk tingkat
lanjutan).
Tentang
materi yang saya bawakan ini, Teknik Pengolahan Data, memang baru pertama kali
untuk pers kampus. Sebelumnya saya berbicara materi yang lain. Walau begitu,
saya sempat membaca makalah tentang Teknih Pengolahan Data pada tingkat-tingkat
sebelumnya. Saya melihat di sana
masih bergulat pada persoalan teori dan tidak menukik pada permasalahannya.
Mudah-mudahan kali ini saya sempat memberikan yang tidak sekadar teori, tetapi
juga contoh-contoh sehingga bisa dipraktekkan. Saya pikir, pada tingkat pembina
ini persoalan yang langsung pada permasalahan akan makin diperlukan.
Mengumpulkan
Data
Sebelum
mengolah data, tentu harus diketahui dulu bagaimana teknik mengumpulkan data. Ada tiga hal penting
tentang cara mengumpulkan data untuk kepentingan penerbitan pers atau
tugas-tugas jurnalistik. Yakni: reportase, wawancara dan riset kepustakaan.
Saya tak ingin menjelaskan hal ini berpanjang-panjang, karena materi ini tentu
sudah didapatkan dari orang lain. Misalnya bagaimana teknik reportase ke
lapangan, bagaimana melakukan investigasi, dan sebagainya. Wawancara juga
demikian ada teknik-teknik khusus yang harus dilakukan seseorang. Sejak
mempersiapkan materi wawancara, mengetahui lebih banyak yang akan diwawancarai,
melemparkan pertanyaan pemancing, bagaimana bertanya supaya yang diwawancarai
tidak merasa diinterograsi, dan sebagainya. Semua ini tentu sudah diperoleh.
Adapun
tentang riset kepustakaan, ini memang tidak memerlukan teknik khusus. Dan
saudara-saudara yang selama ini sudah duduk di bangku universitas tentu tak
asing dengan soal ini. Dalam membuat paper, makalah, dan nantinya skripsi,
hal-hal seperti ini sudah pasti dilakukan. Dan itu sama saja untuk kepentingan
jurnalistik.
Bagaimana
kita membongkar-bongkar buku untuk mencari data yang akan menunjang tulisan
kita. Atau memilah-milah klipping koran, atau menyimak brosur-brosur. Semua ini
tak kalah pentingnya dengan pekerjaan wawancara atau reportase. Di
penerbitan-penerbitan besar seperti TEMPO, Kompas dan lain-lainnya, tenaga
seperti ini yang dinamai periset statusnya sama dengan wartawan. Karena mereka
harus punya kejelian yang sama dengan wartawan. Bahkan mungkin lebih karena
mereka umumnya lebih banyak membaca buku dan mengingat peristiwa-peristiwa –
walau itu tak mutlak karena sekarang pendataan klipping, file, brosur, indeks
atau katalog buku sudah didukung peralatan komputer yang canggih.
Setelah
Data Terkumpul
Nah,
setelah semua data terkumpul, sebenarnya sudah dimulai teknik mengolahnya.
Tapi, bagaimana mengolahnya jika data itu sedemikian banyak? Sering penulis
pemula merasa bingung bagaimana memperlakukan data. Wartawan muda suka
mengeluh: ”Aduh, banyak sekali bahannya, bagaimana menulisnya, ya,
bingung.”Jangan bingung. Periksa dulu rencana awal (kalau Anda reporter
biasanya ada lembar penugasan). Pada perencanaan awal itu tentu sudah
ditentukan, data yang Anda cari itu untuk rubrik apa, fokus ceritanya apa, lalu
angle (sudut pandangnya) ke mana. Lalu cocokkan dengan data yang Anda peroleh.
Apakah sudah terkumpulkan semuanya? Kalau belum, cari yang kurang. Kalau pas,
siap-siaplah ditulis. Sering yang terjadi adalah kelebihan data. Belanjaan
terlalu banyak, istilah di pers. Sepanjang ”belanjaan yang banyak” itu tidak
mengubah fokus dan angle bukanlah persoalan. Tetapi sering ”belanjaan” yang
dibawa melenceng dari perenca naan awal. Apa yang terjadi di lapangan tidak
cocok seperti yang diperkirakan di kantor. Apa yang dihasilkan dari reportase
dan wawancara tidak tepat seperti yang direncanakan sebelumnya. Maka, yang
terlebih dahulu ditentukan sebelum data diolah adalah apakah sudut pandang dan
fokus diubah, dan dengan perubahan itu tetapkah tulisan itu menarik? Kalau ya,
lakukan perubahan dulu. Artinya, data yang terkumpul itu mengubah perencanaan
awal, dan buatlah rencana tulisan yang baru sesuai dengan data yang ada. Kalau
itu juga mengubah rubrik, tidak apa-apa, sepanjang memenuhi kriteria rubrik. Di
TEMPO misalnya, sering dalam perencanaan awal untuk rubrik Kriminalitas
tiba-tiba data yang ada melenceng. Karena menarik lalu diubah jadi rubrik
Hukum, atau Nasional. (Setiap rubrik tentu memiliki kriteria-kriteria tertentu
yang berbeda, dan ini adalah kesepakatan pengelola redaksi penerbitan
itu).Tetapi, kalau data yang terkumpul itu melenceng dan tidak memenuhi standar
untuk rubik apapun, juga tidak mempunya sudut pandang baru dan fokus yang
bagus, maka itu berarti gagal. Simpan saja data itu untuk lain kali, tak ada
gunanya dipaksakan.
Mengolah
Data
Setelah
ditentukan angle baru atau data itu memang pas dengan perencanaan, langkah
selanjutnya adalah menyiangi data. Mana yang relevan untuk tulisan yang akan
digarap dan mana yang tidak. Jangan segan-segan membuang data yang tidak perlu,
walau tadinya dicari dengan penuh gesit dan susah payah.Dalam proses menyiangi
ini akan terlihat apakah reportase dilengkapi dengan wawancara khusus yang
merupakan bagian tersendiri, atau wawancara itu dimasukkan dalam bagian
reportase, artinya menyatu dengan tulisan induk. Juga terlihat, apakah tulisan
itu perlu didukung oleh grafik atau tabel untuk lebih menjelaskan pada pembaca.
Ini mempengaruhi cara Anda menulis berita itu. Dalam menulis (saya tak
menguraikan teknik menulis berita karena itu sudah ada bagiannya) sekali lagi
harus diingat: jangan segan-segan membuang data yang tidak perlu. Juga harus
diingat, trend penulisan sekarang ini — baik untuk berita maupun feature –
teknik penyajiannya sedemikian rupa sehingga orang membacanya dengan enteng dan
tidak susah. Alurnya terpelihara. Orang sekarang ini semakin sibuk dan
informasi sedemikian banyaknya, sehingga dalam mencari informasi itu orang tak
mau memikirkan hal-hal yang tak perlu. Karena itu, dalam sebuah berita pasti
ada ”pelaku utama” dan ”pemain figuran”. Jangan sekali-sekali memberi porsi
yang besar kepada ”pemain figuran” sehingga menenggelamkan ”pemain utama”.
Misal:
Ada sekelompok
petani melakukan protes karena tanahnya digusur. Pemimpin kelompok itu dan
aktifis-aktifis lainnya adalah pelaku utama. Sedang figurannya adalah puluhan
petani yang lain. Kita tak perlu harus menyebut seluruh petani yang protes,
cukup pemimpinnya saja, atau pendampingnya yang vokal saja. Sedangkan puluhan
lainnya cukup disebut jumlahnya, asalnya. Tidak perlu deskripsi lengkap:
nama-nama mereka, usianya, deskripsi tubuhnya dan sebagainya. Tapi pemimpinnya
perlu: usianya, pendidikannya, caranya bicara dan sebagainya.Ini juga termasuk
pelaku yang lebih penting. Sebagai contoh, delapan anggota kongres AS
berkunjung ke Indonesia.
Karena mereka dari satu partai yang sama dan delegasi ini merupakan satu
kesatuan, maka yang disebut cukup pemimpinnya saja. Apalagi yang lain tidak
ngomong. Untuk apa menyebutkan data-data yang lain, selain susah mengeja
namanya, apa relevansinya untuk pembaca kebanyakan?Pergunakan data sesuai
dengan kebutuhan berita itu. Misalnya soal-soal detail. Tak semua detail itu
penting. Misalnya menyebutkan jarak terbunuhnya perampok di tangan polisi. Apa
gunanya menulis berita begini: ”Perampok itu ditembak polisi pada jarak 5, 74
meter.” Pembaca malah bisa keliru kalau membacanya cepat-cepat, lima meter atau tujuh
meter atau empat meter. Sebut saja angka bulat, misalnya, kurang dari enam
meter atau sekitar enam meter — walau Anda betul-betul mengukurnya secara
tepat dengan sangat susah.Tetapi untuk hal tertentu, detail penting. Misalnya,
pertandingan sepakbola. ”Gol terjadi pada menit ke 43”. Ini tak bisa disebut
sekitar menit ke 45, karena menit 45 sudah setengah main. Menit ke 43 sangat
penting artinya dibandingkan menit ke 30, misalnya. Atau tulisan begini:
”Pelari itu mencapai finish dengan waktu 10.51 detik.” Ini penting sekali
bagi pembaca. Mereka akan marah kalau detail itu ternyata salah. Apakah pembaca
bingung melihat angka-angka ini? Tidak, karena sebelum mereka membaca berita
itu, mereka sudah punya persiapan rubrik apa yang dibacanya. Kalau rubrik itu
Nasional (di majalah) atau berita utama di koran tertulis seperti ini:
”Selesai berdemonstrasi menentang SDSB, Polan pulang ke rumahnya. Baru 15
menit, 12 detik, 6 second ia di rumah, polisi dengan kekuatan 12 orang datang
menciduknya. Nama-nama polisi itu Erwin Siregar usia 26 tahun pangkat Serka,
Ida Bagus Rai usia 35 tahun pangkat Letda, Muhamad Jarnawi usia 28 tahun
pangkat serma asal Purwodadi…..” Ya, capek membaca kan? Untuk apa? Pelaku utamanya Polan, yang
lain figuran semua. Figuran terpenting di sini hanya komandan polisi yang
menangkapnya. Bahan-bahan seperti itu yang Anda dapatkan dari laporan polisi
(biasanya keterangan pers) tidak usah dipakai semua.
Sebar
Data, Kalau Penting
Ada kalanya data itu penting semua. Apalagi ini
menyangkut deskripsi seorang tokoh yang mau ditonjolkan, misalnya. Kalau itu
memang diperlukan, jangan memperlakukan data itu semaunya, ditumpahkan dalam
satu kalimat. Akan lebih baik kalau data itu disebar dalam beberapa kalimat.
Jangan dijubelkan.Contoh. Ada
seorang pelukis lumpuh bernama Ketut Rinuh. Ia menda pat penghargaan pemerintah
karena karyanya sangat bagus, tak kalah hebat dengan pelukis yang normal. Anda
sudah melakukan reportase di rumah Ketut Rinuh dan sudah mendapatkan data-data
yang banyak sekali. Lalu Anda menulis beritanya begini: ”Ketut Rinuh, pelukis
lumpuh sejak kecil dari Desa Kesiman, umurnya 50 tahun, anaknya sembilan,
istrinya guru TK, dan ia sudah berhasil menyekolahkan anaknya sampai menjadi
insinyur, mendapat penghargaan dari pemerintah karena karyanya dinilai sangat
bagus, melebihi karya-karya pelukis normal lainnya.”
Kalimat
saya ini sebenarnya sudah bagus karena meletakkan koma dengan benar. Kalau meletakkan
koma ceroboh dan sama sekali diabaikan, pembaca bisa bingung. Jangan-jangan
yang dimaksudkan ”ia” itu istri Rinuh, jangan-jangan yang dimaksudkan
mendapat penghargaan itu anaknya yang insinyur.Tapi, sebagus-bagusnya kalimat
seperti yang saya buat tentu tetap capek membacanya. Dan itu bukan bahasa
jurnalistik, apalagi jurnalistik model sekarang ini yang sering disebut sebagai
jurna listik baru. Anda haru memecah-mecah data yang mendukung Ketut Rinuh itu.
Misalnya:Pada kalimat pertama Anda cukup tulis: Ketut Rinuh, 50 tahun, mendapat
penghargaan dari pemerintah. Kemudian dilanjutkan dengan kapan penghargaan itu
diberikan, dalam rangka apa, siapa yang memberikan. Lantas, tentang siapa Ketut
Rinuh dilanjutkan lagi dengan menulis: Pelukis lumpuh dari Desa Kesiman itu
begitu terharu menerima penghargaan itu. Kemudian dilukiskan suasana pada saat
upacara itu berlangsung. Mungkin, supaya berita tidak datar, Anda membutuhkan
kutipan. Di situpun Anda bisa mendomplengkan data. Misalnya: ”Saya tak pernah
mimpi mendapatkan penghargaan ini,” kata Ketut Rinuh, lelaki yang lumpuh sejak
kecil itu. Lalu Anda kembali melakukan reportase. Misalnya Anda menulis: Saat
menerima penghargaan itu Ketut Rinuh tidak didampingi istrinya karena lagi
mengajar di sebuah TK. Namun, ayah sembilan anak ini tampak begitu bahagia.
Out-line
Perlu
Membuat
out-line sangat perlu agar menggampangkan Anda mengolah data. Apalagi kalau
berita yang Anda rancang itu berita panjang atau sejenis laporan utama. Apalagi
kalau wartawan yang dilibatkan dalam pemberitaan ini tidak satu orang, tetapi
banyak. Banyak data yang akan masuk, banyak informasi yang datang. Out line
akan membantu karena ia mengatur lalu-lintas informasi, membagi permasalahan.
Dalam menuliskan berita Anda tinggal mengikuti out line itu.
Misalnya,
Anda mau menulis masalah perpakiran di kota
ini. Ada peg
baru (kejadian hangat yang membuat berita itu layak diangkat) yakni: urusan
parkir akan ditenderkan oleh Walikota. Nah, sebagai seorang redaktur yang
menangani proyek tulisan ini, Anda tentu menyebar banyak wartawan. Ada yang
mewawancarai tukang parkir, ada ke wali kota, ada yang mewawancarai pengusaha
yang berminat ikut tender, ada yang ke polisi, ada yang mewawancarai tokoh
masyarakat atau orang biasa. Bahan yang masuk tentu banyak sekali, sementara
jatah halaman yang tersedia terbatas. Maka out line sangat membantu mengatasi
masalah ini. Misalnya, Anda merancang kan
begini:
Bagian
pertama tentu saja yang paling aktual (atau peg news) yakni menyangkut rencana
tender parkir. Berapa besar tender, bagaimana minat pengusaha, target
pendapatan kotamadya dari perparkiran, bagaimana perbandingan dengan tahun lalu
ketika parkir tak diborongkan.
Bagian
kedua: menyangkut kebijaksanaan perparkiran. Misalnya disorot masalah hukumnya.
Apakah seluruh wilayah kotamadya itu menjadi taman parkir? Kalau tidak kenapa
di depan apotek ini ada parkir, di depan nasi guling di sebelahnya tidak ada?
Kenapa ada parkir di trotoar, peraturan mana yang membolehkan? Kenapa tukang
parkir saling bersaing, apakah mereka yang menyetor sesuai target? Adakah
kemungkinan penyelewengan, karcis tak dirobek, lalu dipakai berulang-ulang.
Kalau begitu siapa yang rugi, pengusaha atau kotamadya?
Bagian
ketiga: tanggapan dan pendapat masyarakat. Pemakai jalan, polisi, tukang parkir
itu sendiri. Kalau tiga bagian ini masih kurang, mungkin perlu ada wawancara
khusus yang menjadi bagian tersendiri atau tulisan (opini) berupa kolom dari
seorang pakar. Misalnya, mereka menyoroti apa beda parkir dan penitipan motor.
Kalau motor hilang, apakah tukang parkir bisa dituntut. Apakah tukang parkir
itu bertanggung-jawab terhadap keamanan mobil atau motor atau mereka hanya
menyediakan tempat dan untuk itu kita membayar.Nah, kalau _out-line_ itu sudah
jelas, Anda tak akan lari ke mana-mana kalau sudah menulis. Tanpa kejelasan
itu, Anda bisa melebar ke mana-mana. Persoalan A belum selesai, Anda sudah
menulis persoalan C. Kemudian ingat lagi masalah A, ditulis lagi. Tulisan jadi
tak runtut. Akan terjadi pengulangan-pengulangan.Demikian sesuatu yang bisa
saya berikan semoga ada manfaatkan untuk Saudara-saudara.
Denpasar,
1998
Merencanakan
Liputan Panjang
Dalam
pers, ada dua jenis liputan besar. Yang satu liputan besar yang akan dimuat
bersambung, dan yang satu lagi liputan besar yang dimuat pada sekali
penerbitan. Yang pertama ini umumnya dilakukan oleh surat kabar dan hampir tak pernah dilakukan
oleh sebuah majalah atau tabloid berita mingguan. Liputan besar ini bisa berupa
laporan perjalanan, bisa berupa liputan seminar (diskusi, lokakarya dan
sejenisnya), bisa pula laporan investigasi. Tapi koran harian bisa pula memuat
liputan besar yang sekali muat.
Ada perbedaan dalam perencanaan untuk kedua jenis liputan
besar itu. Juga gaya
penulisannya. Namun yang sama adalah liputan itu betul-betul sebuah berita
besar yang punya aspek beragam. Sudut pandang pun bisa berbeda-beda atau banyak
dimensi yang bisa ditampilkan. Umumnya, sebuah liputan besar adalah berita yang
banyak dibicarakan di masyarakat dan menggelinding terus berhari-hari.
Kita
bahas dulu yang pertama, karena ini lebih sederhana. Yang pertama-pertama Anda
harus memilih topik yang akan diliput secara besar-besaran. Kemudian Anda
inventarisasi beberapa angle (sudut pandang) dari topik ini. Setiap sudut
pandang tentukan, siapa nara
sumber yang akan diwawancarai, di mana data pendukung bisa diperoleh, riset apa
yang perlu dilakukan. Kemudian buatlah out-line sebagai pedoman di mana
bagian-bagian tulisan berakhir.
Dan
cara penulisannya adalah mengikuti out-line tadi, selesaikan setiap satu
masalah (sudut pandang) sebelum berpindah kepada masalah yang lain. Dan satu
masalah dimuat untuk sekali penerbitan. Esoknya sudah beralih ke masalah lain,
namun tetap dalam tema liputan besar tadi.
Contoh,
Anda ingin menulis tentang nasib kesenian tradisional yang tergusur oleh wajah
metropolitan kota
besar. Sebelumnya harap diingat, liputan yang masuk dalam pengertian berita,
haruslah mempunyai syarat sebuah berita: yakni newspeg (kaitan dengan suatu
peristiwa). Anda tak bisa menulis sebuat berita apalagi sebuah liputan yang
besar kalau tak dibicarakan orang atau tak ada newspeg-nya. Nah, dalam kaitan
dengan contoh tadi, newspeg liputan ini adalah digusurkan wayang orang Ngesti
Pandowo dari kota Semarang.
Anda
inventarisasi permasalahannya. WO Ngesti Pandowo tergo long unik, sudah puluhan
tahun menghibur masyarakat kota Semarang
dan hampir menjadi ciri khasnya kota Semarang. Mereka digusur
karena letak gedung itu strategis untuk bisnis sebuah kota metropolitan dan tentu nilai ekonomisnya
besar. Lalu, apa dampaknya terhadap anak-anak wayang. Kemana mereka pergi.
Bagaimana nasib kesenian serupa di kota
lain. Apa kata para pakar, baik pakar kesenian maupun akar perkotaan. Nah,
buatlah out-line. out-line itu misalnya begini:
Tulisan
pertama (yang dimuat pada hari pertama) haruslah menukik pada permasalahan
besar yang menjadi pokok liputan itu. Yakni, tergusurnya Ngesti Pandowo.
Ceritakan kenapa tergusur, siapa memakai lahan itu, berapa dibeli, untuk apa.
Tentukan siapa nara
sumber: pimpinan Ngesti Pandowo, Walikota, investor, dll. Siapkan data
pendukung: luas lahan, kapan Ngesti Pandowo lahir, bagaimana nasib kesenian itu
di hari-hari terakhir.
Tulisan
kedua, kembali ke masa lalu, saat-saat keemasan Ngesti Pandowo sebagai kesenian
tradisi yang memberi ciri sebuah kota.
Siapa pendirinya, siapa dedengkotnya, terobosan apa yang pernah dipakai di masa
jaya, lalu kenapa berangsur-angsur ditinggalkan penontonnya. Sekarang bagaimana
nasib anak wayang itu.
Tulisan
ketiga, misalnya, nasib kesenian serupa di kota lain di Indonesia. Misalnya WO Bharata
di Jakarta, Miss Tjitjih di Jakarta, Srimulat di Surabaya, dan lain-lain.
Kenapa bisa hidup, siapa mensubsidi, apa kiatnya menjaring penonton, kenapa
gedungnya tak diincar investor untuk bisnis dan seterusnya.
Tulisan
keempat: tidak bisakah sebuah gemerlap metropolitan bersanding dengan seni
tradisi? Wawancarai pakar. Adakan riset kepustakaan. Kenapa di luar negeri
bisa: Tokyo punya pentas teater rakyat Kabuki, Paris, Belanda, dan
kota-kota lian punya seni tradisi yang justru menjadi kebanggaan kotanya.
Untuk
sebuah laporan perjalanan, Anda pun harus siap dengan out-line sebelum
melakukan perjalanan itu sendiri. Apa yang akan diliput. Laporan perjalanan tak
mesti ditulis dengan runtut seperti ketika Anda berjalan. Jika begitu Anda
menulis akan membosankan dan sama sekali tidak menarik. Anda harus menulis
permasalahannya. Misalnya, Anda ditugaskan ke Filipina menulis feature
perjalanan. Rancang dari awal apa yang mau dikerjakan, pilih bagian yang
menarik untuk tulisan pertama. Misalnya kehidupan demokrasi di Manila. Bagian
kedua tentang Subic setelah ditinggal Amerika. Bagian ketiga kehidupan
malamnya. Dan sebagainya, jadi bukan menulis perjalanan Anda dari detik ke
detik.Untuk liputan panjang dari sebuah seminar internasional, mungkin lebih
mudah menulisnya. Tulis setiap topik permasalahan. Jangan meloncat-loncat. Agar
tulisan tidak kering, sisipkan anekdot atau masalah-masalah ringan di sela-sela
laporan itu, termasuk kehidupan kota di mana seminar itu berlangsung.
Liputan
Besar dalam Majalah
Liputan
besar dalam majalah sering disebut sebagai cover story. Artinya, cerita sampul,
karena cerita/berita itulah yang dijual kepada pembacanya. Nama rubrik bisa
bermacam-macam, ada Laporan Utama, ada Liputan utama, ada Forum Utama dan
sebagainya. Setiap media harus kreatif mencari nama, tapi umumnya tak berkisar
dari nama-nama di atas.Liputan besar itu tercermin di cover majalah/taboid.
Namun, adaa penerbitan yang punya “kiat menjual” lain, seperti FORUM,
Jakarta-Jakarta, Matra. Majalah ini ciri khas covernya adalah tokoh. Sebuah
liputan besar, belum tentu menghadirkan tokoh yang bisa dijual, yang langsung
dikenal oleh calon pembacanya. Misalnya, kasus kematian Tjetje. Siapa tokohnya
yang langsung bisa dikenali calon pembeli? Tjetje tak dikenal, penyiksanya juga
tidak. Kasus Udin, juga bisa dijadikan liputan besar. Tapi, kalau Udin
dijadikan cover, siapa yang kenal? Atau Bupati Bantul dijadikan cover, siapa
yang tahu? Karena itu cover di majalah FORUM selalu orang yang sudah dikenal
oleh pembacanya, walau pun bukan dijadikan liputan besar (Forum Utama atau
Forum Khusus).
Merencanakan
liputan besar untuk majalah/tabloid, yang paling utama adalah kekuatan
out-line-nya. Jika dari out-line sudah lemah, maka penulisan akan berantakan,
bagian-bagian bisa tumpah tindih, dan peliputan di lapangan pun bisa kacau.Jika
Anda sudah menentukan topik apa yang dijadikan liputan besar, segeralah buat
out-line-nya. Ketika merancang out-line itu Anda sudah merasakan, apakah topik
itu betul-betul bisa dijadikan laporan besar atau tidak. Ada kalanya, ketika
kita memutuskan sebuah topik menjadi liputan besar, akhirnya gugur ketika kita
merancang out-line, karena ternyata tidak memenuhi syarat. Umumnya — namun
bukan harus demikian karena tergantung media itu sendiri — out-line liputan
utama terdiri dari: round up berita yang merupakan bagian pertama, penunjang
berita bagian kedua (masih ada kaitan langsung dengan berita itu), analisa
berita bagian ketiga (menceritakan latar belakang), penunjang berita bagian
keempat (bisanya perbandingan atau contoh serupa). Kemudian untuk memberi
penegasan atau penekanan pada hal-hal khusus, atau ada wawancara yang
prestisius untuk disendirikan, diadakan boks.Tujuan out-line selain
menggampangkan Anda mengolah data, juga memudahkan peliputan di lapangan.
out-line itulah yang nantinya menjadi pedoman dalam menjabarkan penugasan ke
reporter. Sehingga tugas reporter di lapangan tidak tumpang tindih. Apalagi
kalau wartawan/reporter yang dilibatkan dalam liputan ini tidak satu orang,
tetapi banyak orang. Banyak data yang akan masuk, banyak informasi yang datang,
out-line akan membantu karena ia mengatur lalu-lintas informasi, membagi
permasalahan. Begitu pula dalam menuliskan berita, Anda tinggal mengikuti
out-line itu. Misalnya, Anda mau menulis masalah perpakiran di kota ini. Ada
nespeg, yakni: urusan parkir akan ditenderkan oleh Walikota. Nah, sebagai
seorang redaktur yang menangani proyek tulisan ini,
Anda
tentu ingin mendapatkan banyak data dan menyebar banyak wartawan. Ada yang
mewawancarai tukang parkir, ada ke wali kota, ada yang mewawancarai pengusaha
yang berminat ikut tender, ada yang ke polisi, ada yang mewawancarai tokoh
masyarakat atau orang biasa. Bahan yang masuk tentu banyak sekali, sementara
jatah halaman yang tersedia terbatas. Maka out-line sangat membantu mengatasi
masalah ini. Misalnya, Anda merancangkan begini:
Bagian
pertama tentu saja yang paling aktual yakni menyangkut rencana tender parkir.
Berapa besar tender, bagaimana minat pengusaha, target pendapatan kotamadya
dari perparkiran, bagaima na perbandingan dengan tahun lalu ketika parkir tak
diborongkan.
Bagian
kedua: menyangkut kebijaksanaan perparkiran. Misalnya disorot masalah hukumnya.
Apakah seluruh wilayah kotamadya itu menjadi taman parkir? Kalau tidak kenapa
di depan toko sana ada parkir, di toko sebelahnya tidak ada? Kenapa ada parkir
di trotoar, peraturan mana yang membolehkan? Kenapa tukang parkir saling
bersaing, apakah karena mereka menyetor sesuai target? Adakah kemungkinan
penyelewengan, karcis tak dirobek, lalu dipakai berulang-ulang. Kalau begitu
siapa yang rugi, pengusaha atau kotamadya? Kenapa tukang parkir tidak digaji
saja?
Bagian
ketiga: tanggapan dan pendapat masyarakat. Pemakai jalan, polisi, tukang parkir
itu sendiri. Tanggapan-tanggapan seperti ini bisa ditulis dengan apa yang
disebut galery, yakni Setiap orang tanggapannya tersendiri, tidak dicampur
aduk.Bagian lain mungkin perlu ada wawancara khusus untuk dijadi kan boks.
Misalnya, tokoh itu menyoroti apa beda parkir dan penitipan motor. Kalau motor
hilang, apakah tukang parkir bisa dituntut. Apakah tukang parkir itu
bertanggung-jawab terhadap keamanan mobil dan motor atau mereka hanya
menyediakan tempat dan untuk itu kita membayar sewa tempat.Nah, kalau out-line
itu sudah jelas, Anda tak akan lari ke mana-mana tatkala menuliskan laporannya.
Tanpa out-line, Anda bisa melebar ke mana-mana. Persoalan A belum selesai, Anda
sudah menulis persoalan C. Kemudian ingat lagi masalah A, ditulis lagi. Tulisan
jadi tak runtut. Akan terjadi pengulangan-pengulangan.
Mengumpulkan
Data
Untuk
liputan panjang, pengumpulan data menjadi penting. Biasanya, reporter yang
dipakai adalah reporter senior. Ada kalanya banyak sekali menggunakan reporter
kalau rencana liputan panjang itu sangat kepepet waktunya. Di majalah berita,
di mana persaingan sangat ketat, hal ini kerap sekali terjadi. Di FORUM sebuah
liputan panjang bisa dikerjakan dalam tempo hanya dua hari, sehari mengumpulkan
data, sehari menulis.
Ada
tiga hal penting tentang cara mengumpulkan data untuk kepentingan liputan, baik
yang besar maupun yang kecil. Yakni: reportase, wawancara dan riset
kepustakaan. Saya tak ingin menjelaskan hal ini berpanjang-panjang, karena
materi ini tentu sudah didapatkan saat pendidikan tingkat dasar/lanjutan/pengelola.
Misalnya bagaimana teknik reportase ke lapangan, bagaimana melakukan
investigasi, dan sebagainya. Wawancara juga demikian ada teknik-teknik khusus
yang harus dilakukan seseorang. Sejak mempersiapkan materi wawancara,
mengetahui lebih banyak yang akan diwawancarai, melemparkan pertanyaan
pemancing, bagaimana bertanya supaya yang diwawancarai tidak merasa
diinterograsi, dan sebagainya. Semua ini tentu sudah diperoleh. Adapun tentang
riset kepustakaan, ini memang tidak memerlukan teknik khusus. Dan Anda tentu
tak asing dengan soal ini. Dalam membuat paper, makalah, dan natinya skripsi
hal-hal seperti ini sudah pasti dilakukan. Dan itu sama saja untuk kepentingan
jurnalistik. Bagaimana kita membongkar-bongkar buku untuk mencari data yang
akan menunjang tulisan kita. Atau memilah-milah klip ping koran, atau menyimak
brosur-brosur. Semua ini tak kalah pentingnya dengan pekerjaan wawancara atau
reportase. Di penerbitan-penerbitan besar, tenaga seperti ini yang dinamai
periset statusnya sama dengan wartawan. Karena mereka harus punya kejelian yang
sama dengan wartawan. Bahkan mungkin lebih karena mereka umumnya lebih banyak
membaca buku dan mengingat peristiwa-peristiwa. Sekarang banyak wartawan yang
melakukan riset sendiri karena perangkatnya sudah canggih lewat komputer atau
internet yang sudah on-line dengan berbagai sumber.
Nah,
setelah semua laporan terkumpul, penulisan sudah bisa dimulai. Tapi, bagaimana
memulai tulisan jika data itu sedemikian banyak? Sering penulis pemula merasa
bingung bagaimana memperlakukan data. Wartawan muda suka mengeluh: ”Aduh,
banyak sekali bahannya, bagaimana menulisnya, ya, bingung.” Karena itu umumn
ya, penulisan untuk cover story atau peliputan-peliputan yang besar dilakukan
oleh redaktur yang sudah senior.Redaktur itu akan terlebih dahulu membaca semua
laporan yang masuk. Karena ada kemungkinan data yang masuk berbeda dari
perencanaan. Entah karena sumbernya diganti, atau yang diperkirakan muncul dari
sumber itu tentang A, ternyata yang keluar B. Itu sebabnya, besar sekali
kemungkinan out-line berubah ketika semua laporan wartawan sudah datang.
Perubahan itu biasanya pada bagian penunjangnya, bukan di bagian pertamanya
yang merupakan round up. (Kalau bagian pertama berubah, artinya seluruh cover
story berubah).Setelah diketahui bahwa laporan reporter sudah cocok dengan
out-line (atau ada revisi out-line) langkah awal sebelum menulis adalah
menyiangi data. Mana yang relevan untuk tulisan dan mana yang tidak. Jangan
segan-segan membuang data yang tidak perlu, walau tadinya dicari dengan penuh
gesit dan susah payah.
Dalam
proses menyiangi ini akan terlihat apakah reportase dilengkapi dengan wawancara
khusus yang merupakan bagian tersen diri, atau wawancara itu dimasukkan dalam
bagian reportase, artinya menyatu dengan tulisan induk. Juga terlihat, apakah
tulisan itu perlu didukung oleh grafik atau tabel untuk lebih menjelaskan pada
pembaca. Ini mempengaruhi cara Anda menulis berita itu. Dalam menulis (saya tak
menguraikan teknik menulis berita atau teknik menulis feature karena itu sudah
dipelajari di tingkat sebelumnya) sekali lagi harus diingat: jangan segan-segan
membuang data yang tidak perlu. Juga harus diingat, trend penulisan sekarang
ini — baik untuk berita maupun feature — teknik penyajiannya sedemikian rupa sehingga
orang membacanya dengan enteng dan tidak susah dipahami. Alurnya terpelihara.
Orang sekarang ini semakin sibuk dan informasi sedemikian banyaknya, sehingga
dalam mencari informasi itu, orang tak mau memikirkan hal-hal yang tak perlu.
Karena itu, dalam sebuah liputan panjang pasti ada ”pelaku utama” dan
”pemain figuran”. Jangan sekali-sekali memberi porsi yang besar kepada
”pemain figuran” sehing ga menenggelamkan ”pemain utama”.
(Anda
bisa mengklik Teknik Penulisan Features untuk melengkapi tulisan ini)
Solo,
9 Desember 1996
Teknik
Penulisan Feature
Dalam
sebuah surat kabar dikenal ada: berita, feature, tajuk, pojok, kolom, surat
pembaca, iklan. Biasanya ada pula fiksi, karikatur, foto-foto. Berita dan
feature adalah fakta, pojok dan tajuk adalah opini dari pengasuh koran, kolom
dan surat pembaca adalah opini dari luar, iklan adalah sumber duit untuk
penerbitan, sedang fiksi adalah karangan yang fiktif, bisa sebagai cerita
bersambung, cerpen, dan sebagainya.
Dari
sekian jenis isi surat kabar ini, feature yang paling sulit diberi
batasan-batasannya. Dulu, dalam teori-teori jurnalistik lama, feature dibedakan
dengan berita setelah melihat ciri yang paling menonjol; berita terikat pada
bentuk penulisan piramida terbalik dan lead atau intro yang merujuk langsung
pada persoalan, lalu syarat mutlak unsur 5 W dan 1 H harus dipenuhi. Sedang
feature tidak.
Tetapi
belakangan ini perkembangan penulisan berita menjadi lain, justru mengarah ke
feature. Memang tidak semua koran melakukan hal itu, tetapi semua majalah dan
koran mingguan pasti menerapkan teknik penulisan feature untuk
berita-beritanya. Tak peduli “berita keras” atau “berita
lunak”.
Dengan
demikian batasan feature pun semakin kabur. Bahkan feature di masa sekarang ini
juga mengacu kepada pemenuhan 5 W dan 1 H itu untuk memenuhi keinginan pembaca
akan informasi yang lebih komplit. Dan feature di masa sekarang ini tak lagi
cuma “enteng dan menghibur” tetapi terkadang sarat dengan kadar
keilmuan — cuma pengolahannya secara populer. Juga dipakai untuk penulisan
berita-berita yang dihasilkan dari pengumpulan bahan yang menda lam. Maka di
sini lagi-lagi batasan feature kabur dengan investigatif news.
Feature
bisa berfungsi sebagai penjelasan atau tambahan untuk berita yang sudah
disiarkan sebelumnya, memberi latar belakang suatu peristiwa, menyentuh
perasaan dan mengharukan, menghidang kan informasi dengan menghibur, juga bisa
mengungkap sesuatu yang belum tersiar sebagai berita.
Lead
Mari
kita tinggalkan difinisi apa itu feature dan kita langsung ke teknik
penulisannya. Ini yang lebih penting. Kita tahu bahwa berita umumnya ditulis
dengan teknik piramida terbalik dan harus memenuhi unsur 5 W + 1 H (what, who,
why, when, where: apa, siapa, mengapa, kapan, di mana, bagaimana). Untuk penerbitan
berupa koran, susunan piramida terbalik ini penting karena jika terjadi
pemotongan karena tak ada tempat, pemotongan langsung dilakukan dari bagian
belakang. Ini berarti lead berita itu pastilah yang terpenting dari isi berita
itu sendiri. Ini harus memikat, tanpa itu berita tak menarik perhatian.
Feature
hampir sama dalam masalah lead, artinya harus memikat. Tetapi feature tidak
tunduk pada ketentuan piramida terbalik. Feature ditulis dengan teknik lead,
tubuh dan ending (penutup). enutup sebuah feature hampir sama pentingnya dengan
lead. Mungkin di sana ada kesimpulan atau ada celetukan yang menggoda, atau ada
sindiran dan sebagainya. Karena itu kalau memotong tulisan feature, tak bisa
main gampang mengambil paling akhir.Semua bagaian dalam fetaure itu penting.
Namun yang terpenting memang lead, karena di sanalah pembuka jalan. Gagal dalam
menuliskan lead pembaca bisa tidak meneruskan membaca. Gagal berarti kehilangan
daya pikat. Di sini penulis feature harus pandai betul menggunakan kalimatnya.
Bahasa harus rapi dan terjaga bagus dan cara memancing itu haruslah jitu.Tak
ada teori yang baku bagaimana menulis lead sebuah feature. Semuanya berdasarkan
pengalaman dan juga perkembangan. Namun, sebagai garis besar beberapa contoh
lead saya sebutkan di sini:
Lead
Ringkasan:
Lead
ini hampir sama saja dengan berita biasa, yang ditulis adalah inti ceritanya.
Banyak penulis feature menulis lead gaya ini karena gampang. Misal:Walaupun
dengan tangan buntung, Pak Saleh sama sekali tak merasa rendah diri bekerja sebagai
tukang parkir di depan kampus itu. Dan seterusnya…. Pembaca sudah bisa
menebak, yang mau ditulis adalah tukang parkir bernama Pak Saleh yang cacat.
Yang berminat bisa meneruskan membaca, yang tak berminat — apalagi sebelumnya
tak ada berita tentang Pak Saleh itu — bisa melewatkan begitu saja.
Lead
Bercerita:
Lead
ini menciptakan suatu suasana dan membenamkan pembaca seperti ikut jadi
tokohnya. Misal:Anggota Reserse itu melihat dengan tajam ke arah senjata lelaki
di depannya. Secepat kilat ia meloncat ke samping dan mendepak senjata lawannya
sambil menembakkan pistolnya. Dor… Preman itu tergeletak sementara banyak
orang tercengang ketakutan menyaksi kan adegan yang sekejap itu …..Pembaca
masih bertanya apa yang terjadi. Padahal feature itu bercerita tentang operasi
pembersihan preman-preman yang selama ini mengacau lingkungan pemukiman itu.
Lead
Deskriptif:
Lead
ini menceritakan gambaran dalam pembaca tentang suatu tokoh atau suatu
kejadian. Biasanya disenangi oleh penulis yang hendak menulis profil seseorang.
Misal:Keringat mengucur di muka lelaki tua yang tangannya buntung itu,
sementara pemilik kendaraan merelakan uang kembalinya yang hanya dua ratus
rupiah. Namun lelaki itu tetap saja merogoh saku dengan tangan kirinya yang
normal, mengambil dua koin ratusan. Pak Saleh, tukang parkir yang bertangan
sebelah itu, tak ingin dikasihani ….. dst….Pembaca mudah terhanyut oleh
lead begini, apalagi penulisnya ingin membuat kisah Pak Saleh yang penuh warna.
Lead
Kutipan:
Lead
ini bisa menarik jika kutipannya harus memusatkan diri pada inti cerita
berikutnya. Dan tidak klise. Misal:”Saya lebih baik tetap tinggal di
penjara, dibandingkan bebas dengan pengampunan. Apanya yang diampuni, saya kan
tak pernah bersalah,” kata Sri Bintang Pamungkas ketika akan dibebaskan
dari LP Cipinang. Walau begitu, Sri Bintang toh mau juga keluar penjara
dijemput anak-istri…. dan seterusnya.Pembaca kemudian digiring pada kasus
pembebasan tapol sebagai tekad pemerintahan yang baru. Hati-hati dengan kutipan
klise. Contoh: “Pembangunan itu perlu untuk mensejahterakan rakyat dan
hasil-hasilnya sudah kita lihat bersama,” kata Menteri X di depan masa
yang melimpah ruah. Pembaca sulit terpikat padahal bisa jadi yang mau ditulis
adalah sebuah feature tentang keterlibatan masyarakat dalam pembangunan yang
agak unik.
Lead
Pertanyaan:
Lead
ini menantang rasa ingin tahu pembaca, asal dipergunakan dengan tepat dan
pertanyaannya wajar saja. Lead begini sebaiknya satu alinea dan satu kalimat,
dan kalimat berikutnya sudah alinea baru. Misal:Untuk apa mahasiswa dilatih
jurnalistik?Memang ada yang sinis dengan Pekan Jurnalistik Mahasiswa yang
diadakan ini. Soalnya, penerbitan pers di kampus ini tak bisa lagi mengikuti
kaidah-kaidah jurnalistik karena terlalu banyaknya batasan-batasan dan larangan
…. dst….Pembaca kemudian disuguhi feature soal bagaimana kehidupan pers
kampus di sebuah perguruan tinggi.
Lead
Menuding:
Lead
ini berusaha berkomunikasi langsung dengan pembaca dan ciri-cirinya adalah ada
kata “Anda” atau “Saudara”. Pembaca sengaja dibawa untuk
menjadi bagian cerita, walau pembaca itu tidak terlibat pada persoalan.
Misal:Saudara mengira sudah menjadi orang yang baik di negeri ini. Padahal,
belum tentu. Pernahkah Saudara menggunakan jembatan penyeberangan kalau melintas
di jalan? Pernahkah Saudara naik ke bus kota dari pintu depan dan tertib keluar
dari pintu belakang? Mungkin tak pernah sama sekali. Saudara tergolong punya
disiplin yang, maaf, sangat kurang. Dst….Pembaca masih penasaran feature ini
mau bicara apa. Ternyata yang disoroti adalah kampanye disiplin nasional.
Lead
Penggoda:
Lead
ini hanya sekadar menggoda dengan sedikit bergurau. Tujuannya untuk menggaet
pembaca agar secara tidak sadar dijebak ke baris berikutnya. Lead ini juga
tidak memberi tahu, cerita apa yang disuguhkan karena masih teka-teki. Misal:
Kampanye
menulis surat di masa pemerintahan Presiden Soeharto ternyata berhasil baik dan
membekas sampai saat ini. Bukan saja anak-anak sekolah yang gemar menulis
surat, tetapi juga para pejabat tinggi di masa itu keranjingan menulis surat.
Nah,
sampai di sini pembaca masih sulit menebak, tulisan apa ini? Alinea
berikutnya:Kini, ada surat yang membekas dan menimbulkan masalah bagi rakyat
kecil. Yakni, surat sakti Menteri PU kepada Gubernur DKI agar putra Soeharto,
Sigit, diajak berkongsi untuk menangani PDAM DKI Jakarta. Ternyata bukannya
menyetor uang tetapi mengambil uang setoran PDAM dalam jumlah milyaran…. dan
seterusnya.
Pembaca
mulai menebak-nebak, ini pasti feature yang bercerita tentang kasus PDAM DKI
Jaya. Tetapi, apa isi feature itu, apakah kasus kolusinya, kesulitan air atau
tarifnya, masih teka-teki dan itu dijabarkan dalam alinea berikutnya.
Lead
Nyentrik:
Lead
ini nyentrik, ekstrim, bisa berbentuk puisi atau sepotong kata-kata pendek. Hanya
baik jika seluruh cerita bergaya lincah dan hidup cara penyajiannya. Misal:
Reformasi
total.
Mundur.
Sidang
Istimewa.
Tegakkan
hukum.
Hapus
KKN.
Teriakan
itu bersahut-sahutan dari sejumlah mahasiswa di halaman gedung DPR/MPR untuk
menyampaikan aspirasi rakyat …. dst….Pembaca digiring ke persoalan
bagaimana tuntutan reformasi yang disampaikan mahasiswa.
Lead
Gabungan:
Ini
adalah gabungan dari beberapa jenis lead tadi. Misal:”Saya tak pernah
mempersoalkan kedudukan. Kalau memang mau diganti, ya, diganti,” kata
Menteri Sosial sambil berjalan menuju mobilnya serta memperbaiki kerudungnya.
Ia tetap tersenyum cerah sambil menolak menjawab pertanyaan wartawan. Ketika
hendak menutup pintu mobilnya, Menteri berkata pendek: “Bapak saya sehat
kok, keluarga kami semua sehat….”Ini gabungan lead kutipan dan
deskriptif. Dan lead apa pun bisa digabung-gabungkan.
Batang
Tubuh
Setelah
tahu bagaimana lead yang baik untuk feature, tiba saatnya berkisah menulis
batang tubuh. Yang pertama diperhatikan adalah fokus cerita jangan sampai
menyimpang. Buatlah kronologis, berurutan dengan kalimat sederhana dan
pendek-pendek. Deskripsi, baik untuk suasana maupun orang (profil) mutlak untuk
pemanis sebuah feature. Kalau dalam berita, cukup begini: Pak Saleh mendapat
penghargaan sebagai tukang parkir teladan. Paling hanya dijelas kan sedikit
soal Pak Saleh. Tapi dalam feature, saudara dituntut lebih banyak. Profil
lengkap Pak Saleh diperlukan, agar orang bisa membayangkan. Tapi tak bisa
dijejal begini: Pak Saleh, tukang parkir di depan kampus itu, yang tangan
kanannya buntung, umurnya 50 tahun, anaknya 9, rumahnya di Depok, dapat
penghargaan. Data harus dipecah-pecah. Alenia pertama cukup ditulis: Pak saleh,
50 tahun, dapat penghargaan. Lalu jelaskan dari siapa penghargaan itu dan apa
sebabnya. Pak Saleh yang tangannya buntung itu merasakan cukup haru, ketika
Wali Kota…. Di bagian lain disebut: “Saya tidak mengharapkan,” kata
lelaki dengan 9 anak yang tinggal di Depok ini. Dan seterusnya.Anekdot perlu
untuk sebuah feature. Tapi jangan mengada-ada dan dibikin-bikin. Dan kutipan
ucapan juga penting, agar pembaca tidak jenuh dengan suatu reportase.Detil
penting tetapi harus tahu kapan terinci betul dan kapan tidak. Preman itu
tertembak dalam jarak 5 meter lebih 35 centi 6 melimeter…, apa pentingnya
itu? Sebut saja sekitar 5 meter. Tapi, Gol kemenangan Persebaya dicetak pada
menit ke 43, ini penting. Tak bisa disebut sekitar menit ke 45, karena menit 45
sudah setengah main. Dalam olahraga sepakbola, menit ke 43 beda jauh dengan
menit ke 30. Bahkan dalam atletik, waktu 10.51 detik banyak bedanya dengan
10.24 detik.Ini sudah menyangkut bahasa jurnalistik, nanti ada pembahasan
khusus soal ini.
Ending
Jika
batang tubuh sudah selesai, tinggallah membuat penutup. Dalam berita tidak ada
penutup. Untuk feature setidak-tidaknya ada empat jenis penutup.
Penutup
Ringkasan:
Sifatnya
merangkum kembali cerita-cerita yang lepas untuk mengacu kembali ke intro awal
atau lead.
Penutup
Penyengat:
Membuat
pembaca kaget karena sama sekali tak diduga-duga. Seperti kisah detektif saja.
Misalnya, menulis feature tentang bandit yang berhasil ditangkap setelah
melawan. Kisah sudah panjang dan seru, pujian untuk petugas sudah datang, dan
bandit itu pun sudah menghuni sel. Tapi, ending feature adalah: Esok harinya,
bandit itu telah kabur kembali. Ending ini disimpan sejak tadi.
Penutup
Klimak:
Ini
penutup biasa karena cerita yang disusun tadi sudah kronologis. Jadi
penyelesaiannya jelas. Di masa lalu, ada kegemaran menulis ending yang singkat dengan
satu kata saja: Semoga. Sekarang hal seperti ini menjadi tertawaan. Ini sebuah
bukti bahwa setiap masa ada kekhasannya.
Penutup
tanpa Penyelesaian:
Cerita
berakhir dengan mengambang. Ini bisa taktik penulis agar pembaca merenung dan
mengambil kesimpulan sendiri, tetapi bisa pula masalah yang ditulis memang
menggantung, masih ada kelanjutan, tapi tak pasti kapan.Demikian sekilas
tentang teknik penulisan feature. Akan halnya ide feature itu bisa diperoleh
dari berbagai hal. Bisa dari kelanjutan berita-berita aktual, bisa mendompleng
hari-hari tertentu, atau profil tokoh yang sedang ramai dibicarakan. Yang
penting ada newspeg (cantelan berita), karena feature bukan fiksi. Ia fakta
yang ditulis dengan gaya mirip fiksi.Kalau bulan Mei, tulislah feature tentang
Hari Kebangkitan Nasional, misalnya. Jangan menulis feature tentang Pertempuran
Surabaya di bulan Mei ini.
Jakarta, 25 Mei 1998
Mengenal
Opini dan Kolom
Dalam
sebuah surat kabar dikenal ada: berita, feature, tajuk, pojok, kolom, surat
pembaca, iklan. Biasanya ada pula fiksi, karikatur, foto-foto. Berita dan
feature adalah fakta, pojok dan tajuk adalah opini dari pengasuh koran, kolom
dan surat pembaca adalah opini dari luar, iklan adalah sumber duit untuk
penerbitan, sedang fiksi adalah karangan yang fiktif, bisa sebagai cerita
bersambung, cerpen, dan sebagainya.
Dalam
penerbitan majalah dan tabloid, keadaannya hampir sama. Mungkin majalah dan
tabloid tidak ada fiksinya, kecuali majalah dan tabloid yang sifatnya hiburan,
bukan majalah atau tabloid berita.
Di
penerbitan majalah dan tabloid, juga jarang ada tajuk rencana, yang isinya
adalah opini yang mengatasnamakan penerbitan itu. Di beberapa penerbitan,
pemimpin redaksi atau redaktur senior menulis opini khusus dengan byline.
Misalnya, di Forum dulu ada Catatan Hukum. Itu tak bisa digolongkan opini,
karena belum tentu mewakili isi majalah tersebut. Itu lebih tepat disebut
kolom. Nah, di majalah TEMPO sekarang ini ada opini. Itu betul-betul opini yang
sebenarnya, karena dibuat untuk mewakili kepentingan penerbitan. Dan tidak ada
byline-nya (penulisnya).
Kriteria:
Jadi
apa itu opini dan kolom, sudah jelas. Opini adalah tulisan yang merupakan
pendapat seseorang atau lembaga. Kolom dan surat pembaca termasuk opini.
Pokoknya segala yang bukan berita disebut opini.
Dan
opini ada dua: mewakili lembaga (disebut tajuk, pojok, opini — dalam
pengertian rubrik), dan mewakili perorangan (disebut kolom). Kalau dibagi lagi,
kolom bisa ditulis oleh orang luar maupun orang dalam, tajuk dan sebagainya itu
adalah opini yang ditulis oleh orang dalam.
Apa
yang ditulis:
>Baik
opini maupun kolom, kedua-duanya adalah menyoroti sebuah berita aktual dengan
memberi pendapat-pendapat, baik saran, solusi, kritik dan sebagainya. Kalau
berita tentu tak bisa dicampuri dengan opini. Berita yang dicampur dengan opini
menjadi rancu, dan mengaburkan nilai berita itu sendiri. Berita pun menjadi
tidak obyektif lagi.
Karena
itu sebuah tulisan yang ingin melengkapi berita itu dengan pendapat seseorang,
dipesan kolom oleh sebuah penerbitan. Itu yang menyebabkan penulis kolom adalah
tokoh-tokoh yang sudah dikenal dalam bidangnya. Apalagi untuk majalah. Kalau
Anda belum terkenal tak bisa menulis kolom. Di koran-koran, karena terbitnya
setiap hari dan membutuhkan banyak tulisan, masih bisa menerima tulisan kolom
dari luar yang datang begitu saja tanpa dipesan. Tapi di majalah tidak, tulisan
dipesan dan hanya orang tertentu saja yang bisa menulis.
Bagaimana
menulis:
>Baik
kolom maupun opini ditulis dengan cara yang sangat populer dan dibatasi
panjangnya. Kalau di majalah panjang kolom paling banyak 5.000 charakter, di
koran umumnya sama saja, tetapi bisa sedikit lebih panjang karena bisa
bersambung ke halaman lain. Anda tak bisa bertele-tele, tetapi langsung pada
persoalan. Memang, kemudian dikenal ada gaya seseorang, yang tak mudah ditiru
oleh orang lain. Apalagi apa yang kemudian disebut kolom khusus (misalnya
Asal-usul di Kompas).
Salah
satu yang penting dalam menulis opini atau kolom adalah fokus yang jelas dan
sudut pandang tidak melebar ke mana-mana. Karena itu banyak pemula yang
bingung, bagaimana memulainya dan bagaimana memperlakukan bahan-bahan yang ada.
Jangan
mudah bingung. Periksa dulu rencana awal, sebenarnya apa sih tema yang mau anda
tulis itu? Fokus ceritanya apa, lalu angle (sudut pandangnya) ke mana. Cocokkan
dengan bahan/data yang Anda punya atau berita yang sudah terjadi. Apakah sudah
terkumpul dan mendukung tulisan itu? Kalau belum, cari yang kurang. Kalau pas
dan berlebih, siap-siaplah ditulis.
Pergunakan
data atau berita yang sudah terjadi sesuai dengan kebutuhan tulisan itu.
Misalnya soal-soal detail. Tak semua detail itu penting. Misalnya menyebutkan
jarak sebuah desa di Aceh yang dijadikan wilayah penelitian DOM. ”Desa itu
berjarak 15, 74 kilometer dari kota…..” Pembaca malah bisa keliru kalau
membacanya cepat-cepat, lima belas kilometer atau seratus limapuluh tujuh
kilometer atau tujuh belas kilometer. Sebut saja angka bulat, misalnya, sekitar
lima belas kilometer atau lebih sedikit dari lima belas kilometer.
Tetapi
untuk hal tertentu, katakanlah kolumnis olahraga, detail itu penting. Misalnya,
pertandingan sepakbola. ”Gol terjadi pada menit ke 43”. Ini tak bisa disebut
sekitar menit ke 45, karena menit 45 sudah setengah main. Menit ke 43 sangat
penting artinya dibandingkan menit ke 30, misalnya. Atau tulisan begini:
”Pelari itu mencapai finish dengan waktu 10.51 detik.” Ini penting sekali
bagi pembaca. Mereka akan marah kalau detail itu ternyata salah. Apakah pembaca
bingung melihat angka-angka ini? Tidak, karena sebelum mereka membaca tulisan
itu, mereka sudah punya persiapan apa tema tulisan itu.
Masalah
Bahasa:
Bahasa
Indonesia yang kita gunakan untuk menyusun artikel (baik opini maupun kolom)
haruslah ”bahasa tulisan”. Yang dimaksudkan di sini adalah bukan bahasa lisan
atau bahasa percakapan sehari-hari.
Namun,
bahasa itu tetap komunikatif, mampu menghubungkan alam pikiran penulis dan
pembaca secara lancar dan hemat kata. Agar dapat menyampaikan gagasan penulis
tanpa cacat, kalimat yang disusun harus bebas dari kata-kata yang melelahkan
dan kata-kata pemanis basa-basi yang biasa diucapkan orang dalam pidato yang
menjemukan. Kata-kata itu bahkan sejauh mungkin harus kita hindari
penggunaannya.
Selain
menggunakan bahasa tulisan, juga perlu menggunakan bahasa teknis. Dan bahasa
teknis menuntut penuturan yang ringkas. Dalam usaha menyusun kalimat ringkas
ini, kita harus tetap ingat, jangan sampai mengorbankan kejelasan.Sebuah
artikel dikatakan tidak lengkap dan tidak jelas, apabila ia tidak dapat
menjawab pertangaan pembaca lebih lanjut, seperti pertanyaan:
“Berapa”? (jumlah, ukuran, umur, hasil, suhu dan lain-lain). Artikel
yang lengkap tidak akan membiarkan pembaca bertanya-tanya lagi, misalnya di
mana letak Ciamis tempat pembunuhan dukun santet itu.Begitu pula deskripsi
seseorang, kita jangan terlalu gampang menulis ”orang itu begitu cantik
setelah mengenakan pakaian pengantin”. Cantik untuk ukuran orang lain bisa
berbeda-beda, maka lebih baik deskripsikan ”kecantikan” itu. Misalnya,
setelah mengenakan pakaian pengantin itu, sang gadis kelihatan lebih langsing,
matanya lebih bersinar, lehernya lebih jenjang dan sebagainya. Namun,
keterperincian itu tadi tetap jangan sampai terjebak pada hal-hal yang tidak
perlu.Ketelitian menjadi hal penting, baik dalam penulisan kata, umur, nama
orang, nama tempat dan alat, ejaan dan tanda baca. Jelas akan merosot nilai
kolom itu itu, kalau ketelitian ini diabaikan begitu saja. Begitu pula masalah
ejaan yang benar sebagaimana pedoman baku
yang telah dikeluarkan Pusat Bahasa.
Di
Majalah TEMPO misalnya kalau ada penulis artikel yang masih menulis kata
“rubah, robah, merubah, merobah” langsung dicampakkan karena
semestinya kata dasar itu “ubah”, jadi harus ditulis “perubahan,
mengubah, diubah”. Ini contoh-contoh kecil yang perlu dicermati.Menulis
kalimat, jangan terlalu berpanjang-panjang. Kalimat yang paling ideal itu
adalah kalimat yang mencetuskan satu ide, satu gagasan. Kalimat yang lebih dari
satu ide dan satu gagasan akan membuat kabur, lebih-lebih kalau penempatan kata
penghubung dan koma dikacaukan. Misalnya kalimat ini: “Iwan, bapak seorang
anak yang baru saja diwisuda sebagai insinyur….” tak jelas benar, siapa
yang lulus insinyur itu, Iwan atau anaknya? Ini hanya karena penempatan koma.
Kalau ditulis: “Iwan, bapak seorang anak, yang baru saja lulus
insinyur…” yang lulus insinyur jelas Iwan, bukan anaknya. Atau:
“Iwan, bapak dari seorang anak yang baru saja lulus insinyur, meninggal
dunia…” yang lulus insinyur anaknya, yang meninggal bapaknya.Demikian
beberapa hal tentang opini dan kolom. Jenis tulisan ini tak bisa diajarkan
secara teori, karena memang tak ada teorinya. Tulisan ini menyangkut wawasan
dan pengalaman. Semakin lama “jam terbang” seseorang semakin baik
tulisannya.
Putu
Setia
April 30, 2008
Posting Komentar