Prakata:
Dalam rangka memperingati Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke 63 - 17 Agustus 2008 saya rasa perlu untuk menayangkan ulang tulisan rekan marhaenis almarhum H.M. Soenarto yang isinya sangat penting untuk kita renungkan dan camkan sebagai penggugah jiwa nasionalisme-patriotik , yang kondisinya dewasa ini sangat memprihatinkan.
Salam,
MD Kartaprawira
PROKLAMASI KEMERDEKAAN
DALAM PERSPEKTIF MARHAENISME *)
Oleh : Soenarto H.M.**)
Kemarin, tgl 17 Agustus, kita bangsa Indonesia memperingati HUT Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 59. Dalam rangkaian peringatan ini kiranya merupakan kesempatan yang sangat baik untuk merenungkan kembali guna lebih memaham
· siapa sesungguhnya kita,
· bagaimana jati diri kita,
· mau apa dan kemana sesungguhnya tujuan perjuangan bangsa ini, dan
· sudah sejauh mana perjalanan menuju cita-cita perjuangan ini?
Kalau kita runut perjalanan sejarah kita dengan cermat, maka akan kita sadari bahwa kita, bangsa Indonesia, adalah suatu bangsa yang lahir dari suatu kesadaran dialektis dalam sejarah panjang. Kita adalah bangsa besar yang pernah tertindas dan teraniaya oleh penjajahan, yang dapat terjadi ketika kita sedang dalam keadaan lemah, ketika kita sedang dalam masa transformasi dan terlibat dalam konflik internal
Namun sejarah penderitaan panjang itu kemudian membangunkan kembali kesadaran kita untuk bersatu dan berdiri tegak sebagai suatu bangsa merdeka.
Akumulasi kesadaran yang tumbuh dan berkembang dalam proses pergerakan itulah yang kemudian ditangkap oleh founding fathers untuk mempersiapkan kemerdekaan. Dan pada tgl. 17 Agustus 1945, Bung Karno dengan didampingi oleh Bung Hatta menyatakan Kemerdekaan Indonesia.
Dari teks Proklamasi yang ditandatangani oleh Bung Karno dan Bung Hatta, atas nama Bangsa Indonesia, itu jelas bahwa kita tidak menuntut maupun meminta kemerdekaan kepada fihak lain, melainkan menyatakan kemerdekaan Indonesia, suatu sikap yang menunjukkan kemandirian kita sebagai bangsa. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia adalah pernyataan kepada diri sendiri dan dunia bahwa bangsa Indonesia telah merdeka.
Satu hari kemudian sesudah Proklamasi Kemerdekaan, dicanangkanlah Deklarasi Kemerdekaan Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Deklarasi Kemerdekaan adalah pernyataan kepada diri sendiri dan dunia tentang prinsip-prinsip yang merupakan landasan dan acuan dalam menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Deklarasi Kemerdekaan adalah raison d'etre bangsa Indonesia yang berisi cita-cita peradaban bangsa dan manusia.
Dalam alinea pertama Deklarasi Kemerdekaan yang berbunyi : "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan", terlihat sangat jelas landasan filosofis dari pernyataan kemerdekaan Indonesia. Kita menyatakan kemerdekaan atas dasar hak sebagai suatu bangsa, dan menolak penjajahan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dengan demikian kita juga tidak akan menjadi bangsa yang chauvinis, kita juga tidak akan membangun jingo-nasionalisme.
Asas kemerdekaan itu kemudian dipertegas dalam visi pembentukan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Oleh karenanya misi yang diemban oleh pemerintah yang harus diwujudkan adalah : kedalam, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum (bukan orang per orang), mencerdaskan bangsa; sedang keluar, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Selanjutnya dengan tegas dinyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara republik yang berkedaulatan rakyat, berdasar Pancasila.
Kalau kita cermati dengan jernih, akan nampak secara nyata bahwa prinsip-prinsip yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut merupakan perwujudan dari Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi yang tak lain adalah Marhaenisme. Dengan menyatakan kemerdekaan kita akan membangun nasionalisme yng anti penjajahan, nasionalisme yang berperikemanusiaan dan berperikeadilan, dan diatasnya akan kita wujudkan masyarakat yg demokratis, adil, makmur dan beradab.
Pergerakan kaum Marhaen dan Marhaenis.
Dengan merunut sejarah kemerdekaan Indonesia terlihat secara nyata bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia lahir dari proses dialektis yang terjadi dalam pergerakan sosial rakyat Indonesia. Kesadaran dan semangat yang tumbuh dan berkembang dalam sanubari rakyat itu ditangkap oleh founding fathers untuk memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia dan menyusun Deklarasi Kemerdekaan Indonesia.
Semua itu merupakan hasil dari pergerakan rakyat yang tertindas oleh sistem kolonialisme dan imperialisme, yang tak lain adalah kaum Marhaen dan Marhaenis. Kemerdekaan Indonesia lahir bukan dari peperangan atau perjuangan bersenjata, melainkan dari pergerakan rakyat yang mampu menembus sekat-sekat primordialisme, baik kepartaian maupun kedaerahan. Proklamasi Kemerdekaan yang merupakan awal dari Revolusi Indonesia, yaitu awal dari proses untuk melakukan perombakan kehidupan atas tata nilai kolonial menuju kepada tata nilai berdasarkan jati diri bangsa itu, terjadi tanpa satu tetes darahpun mengalir.
Belanda dengan berlindung di belakang Sekutu berusaha masuk untuk menguasai kembali bekas daerah jajahannya. Karena adanya agresi dari kaum imperialis inilah rakyat melakukan perlawanan dan membentuk laskar bersenjata yang merupakan embrio terbentuknya Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan melawan imperialisme itulah baru terjadi berbagai pertempuran yang mengalirkan darah.
Melalui perjuangan diplomasi dan dukungan laskar bersenjata itulah kemerdekaan Indonesia dapat ditegakkan, dan pengakuan internasionalpun dapat kita peroleh.
Dari sini dapat kita tarik tiga pelajaran yang sangat berharga.
Pertama, sejarah membuktikan bahwa ketika rakyat diberi peluang untuk menyampaikan partisipasinya secara optimal, maka kekuatan rakyat tersebut mampu memberikan hasil yang optimal pula, yatu terlaksananya Proklmasi Kemerdekaan dan ditegakkannya kemerdekaan Indonesia.
Kedua, sesungguhnya revolusi adalah suatu proses perubahan tata nilai yang cepat dan mendasar. Revolusi bukanlah sesuatu bentuk kekerasan yang berdarah. Kekerasan yang berdarah itu timbul justru dari keserakahan imperialisme yang berusaha memporakporandakan revolusi.
Ketiga, berbeda dengan sejarah kelahiran tentara Amerika yang dibentuk oleh kaum permodalan (kapitalis) untuk memenuhi kepentingannya, TNI lahir dari perjuangan rakyat dalam mempertahankan kemerdekaannya. Manunggalnya TNI dengan rakyat dilandasi dan diikat oleh cita-cita Proklamasi Kemerdekaan sehingga merupakan kekuatan yang sangat kokoh.
Keingkaran terhadap Revolusi.
Namun ternyata keingkaran telah terjadi sejak awal kemerdekaan sehingga cita-cita Proklamasi tidak dapat segera terwujud. Mulai diangkatnya Perdana Menteri dalam sistem pemerintahan presidensiil, diterbitkannya Maklumat nomor X, digantinya UUD 1945 dengan UUD RIS, kemudian UUDS 1950, dan terjadinya berbagai pemberontakan telah mengakibatkan jalannya Revolusi Indonesia menjadi tidak menentu.
Arah perjuangan bangsa Indonesia baru menjadi jelas ketika dikeluarkan Dekrit Presiden pada tgl. 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali kepada UUD 1945. Hasil-hasil perjuangan menjadi nyata berkat partisipasi rakyat yang optimal.
Namun perjuangan yang makin memuncak itu menjadi berantakan setelah meletusnya Gestok pada dini hari 1 Oktober 1965. Terjadilah perubahan diametral dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Rakyat dimarjinalkan dan semata-mata menjadi obyek mobilisasi.
Kini bangsa Indonesia harus menanggung beban keingkaran yang dilakukan oleh rejin Orde Baru dibawah Jenderal Soeharto berupa hutang yang luar biasa besarnya dan kebobrokan yang merupakan sampah pesta Orde Baru. Bahkan demoralisasi dan korupsi semakin berkembang ke semua lini kehidupan.
Pilpres.
Di tengah carut marut kehidupan ini kita dihadapkan kepada Pemilu Presiden putaran kedua. Dalam putaran kedua ini tinggal ada dua pasangan calon, yaitu Megawati - Hasyim Muzadi dan Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla.
Dalam pemilihan presiden ini tentunya kita tidak hanya akan memilih orang yang disukai atau tidak disukai, karena pemilihan ini adalah pemilihan Presiden yang akan sangat menentukan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Satu hal yang sangat perlu disadari bahwa dewasa ini sesungguhnya terjadi pertentangan yang mendasar tetapi diam, yaitu pertentangan antara rakyat yang ingin menegakkan harkat, martabat dan kesejahteraannya dengan kapitalisme internasional (nekolim) yang ingin tetap mengangkangi pengaruh dan kepentingannya.
Dalam menghadapi pilpres inipun ternyata kapitalisme internasional juga tidak hanya menjadi pengamat, melainkan berperan aktif untuk dapat mengamankan kepentingannya. AC Manulang, mantan Direktur Badan Koordinasi Intelejen Negara (Bakin) mengeluarkan pernyataan (dimuat dalam beberapa surat kabar) yang menyatakan bahwa Amerika Serikat (AS) melalui Central Intelegence Agency (CIA) berusaha untuk mengegolkan presiden dari kalangan militer. Karena Jenderal (Purn) Wiranto sudah tersisih pada putaran pertama, tentunya pada putaran kedua mereka akan mencurahkan dukungannya kepada Jenderal (Purn) Susilo B.Y. Untuk itu mereka telah menyusupkan 60 ribu intelejennya di Indonesia, termasuk warga Indonesia yang telah mendapatkan pendidikan intelejen di luar negeri.
Dengan memahami bahwa kontradiksi pokok yang ada adalah antara rakyat dengan nekolim, maka rakyat harus waspada penah dalam melakukan pilihan pada putaran kedua yang akan datang.
Penutup
Dalam memperingati HUT Kemerdekaan RI yang ke 59, kiranya kita sadari benar bahaya yang terus mengancam negeri kita. Tentunya kita tidak ingin terus terpuruk dalam jeratan kapitalisme internasional yang tidak hanya menyengsarakan, tetapi juga telah mendatangkan kehinaan.
Kedaulatan Nasional yang telah runtuh harus ditegakkan kembali untuk meraih terwujudnya cita-cita luhur sebagaimana diamanatkan oleh Proklamasi Kemerdekaan. Namun kedaulatan nasional itu hanya akan dapat ditegakkan manakala partisipasi rakyat dapat terwujud secara optimal melalui gerakan yang penuh kesadaran. Rakyat membutuhkan ditegakkannya demokrasi yang bukan anarki, tetapi ditegakkannya keberdayaan dan kedaulatan rakyat. Di sinilah kaum Marhaen dan Marhaenis dihadapkan kepada tantangan untuk menjawabnya.***
Yogyakarta, 18 Agustus 2004
Posting Komentar