Menggali kembali Nasionalisme Kita!

Senin, 15 September 20080 comments

KOnsep Nasionalisme kita kini mengalami pergeseran "paradigma"
perjuangan bangsa. Sebelum tahun 1908, perjuangan kita masih sangat
"fragmentalis" kesukuan dan kedaerahan. Konsep perjuangannya
didasarkan pada konsep "regional dignity" (harkat daerah) dan
"regional pride" (kebanggaan daerah) serta "etnis pride" (kebanggaan
suku). Misalnya: Sultan Agung (1628-1629) untuk kepentingan negeri
Mataram, Sultan Ageng Tirtayasa (1650-1682) untuk kepentingan Banten,
Kapitan Pattimura (1817) untuk kepentingan Maluku dan masih banyak
lagi contohnya.

Metode perjuangan yang seperti itu ternyata menemui kegagalan dan
gampang ditumpas oleh bangsa penjajah. Bukti kegagalan seperti itulah
yang mengilhami para pemimpin bangsa pada saat itu untuk merubah
"paradigma" perjuangan bangsa. Mereka sadar bahwa perjuangan yang
dilakukan secara "fragmentalis" kedaerahan dan kesukuan ternyata salah
dan tidak menghasilkan apa-apa. Berangkat dari pengalaman dan
bukti-bukti seperti itu maka kelahiran Budi Utomo mendorong para
pejuang bangsa untuk merubah taktik dan strategi perjuangannya. Guna
mengusir penjajah diperlukan adanya semangat persatuan dan kesatuan
nasional yang kuat dilandasi oleh konsep perjuangan yang tepat yakni
konsep "national dignity" (harkat nasional) dan "national pride"
(kebanggaan nasional) yang utuh dan menyeluruh.

Perjuangan menegakkan faham kebangsaan (nasionalisme) membutuhkan
persamaan kedudukan antar etnis, suasana "egalitarian" dan
"kebersamaan" berdasarkan perasaan senasib dan sependeritaan. Hal ini
sesuai dengan pemikiran dari Otto Bauer (1882-1939) bahwa faham
kebangsaan itu lahir karena adanya persamaan perangai dan tingkah laku
dalam memperjuangkan persatuan dan nasib yang sama (I Wayan Badrika,
1996).

Refleksi Historis-Kritis.

Bila mereview secara historis-kritis tentang perjalanan bangsa
Indonesia hingga berakhirnya Orde Baru dan datangnya Era Reformasi,
terdapat nilai-nilai luhur perjuangan bangsa yang patut dijadikan
teladan bagi generasi berikutnya. Pada kenyataannya membangun sebuah
Negara Kebangsaan ditengah-tengah pluralisme budaya dan etnis,
bukanlah barang mudah, perlu kita sadari dan pahami bersama bahwa
untuk membangun sebuah Negara Kebangsaan memerlukan keikhlasan untuk
bersatu dengan melepaskan berbagai ambisi primordial lokal, ambisi
etnis, ambisi kelompok dan ambisi pribadi secara proporsional.

Pada episode atau tahapan sejarah perjuangan bangsa, semangat seperti
tersebut diatas benar-benar menjadi kenyataan. Ketika Budi Utomo
dideklarasikan,dua puluh tahun kemudian pada tahun 1928 maka Sumpah
Pemuda dikumandangkan dan Kemerdekaan diproklamasikan muncul
"keajaiban" luar biasa yang tiada diduga sebelumnya. Maka jangan heran
bila pada penggalan sejarah tertentu akan lahir pemimpin-pemimpin
bangsa secara alamiah yang memiliki jiwa perjuangan yang menakjubkan.
Mereka datang berjuang dengan rela berkorban, tanpa pamrih, memiliki
rasa persatuan dan kesatuan, rasa kebangsaan yang tinggi dan tentu
tidak takut "penjara" bahkan mati sekalipun.

Kehebatan para pemimpin diseputaran kelahiran Budi Utomo tidak dapat
disangkal oleh siapapun. Misalnya tokoh semacam Dr. Sutomo, Dr.
Wahidin Sudiro Husodo, Dr. Tjipto Mangun Kusumo, Dauwers Decker, Ki
Hadjar Dewantoro, HOS Tjokro Aminoto, KH Ahmad Dahlan dan lain-lain.
Para pejuang ini mampu mengubah paradigma perjuangan dari perjuangan
non kooperatif kearah kooperatif, dari fragmentalisme daerah kesukuan
kearah Nasionalisme seutuhnya dan dari "elitis feodalis" kearah
"generalis populis".

Demikian pula kehebatan para pemuda yang menghadiri Konggres Pemuda II
di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1928 sungguh amat membanggakan.
Ditengah-tengah kekejaman penjajah masih mampu membangun kebersamaan
dan persatuan pemuda dengan melahirkan Sumpah Pemuda yang begitu
kritis dan berani. Tentu acungan jempol patut diberikan kepada Sugondo
Djoyo Puspito dkk. Dan jangan dilupakan Pemuda WR Supratman melalui
gesekan biolanya memperdengarkan dengan beraninya lagu kebangsaan
Indonesia Raya untuk pertama kalinya.

Belum lagi kehebatan Sang Proklamator Sukarno/Hatta. Sukarno dengan
gaya oratornya yang memikat rakyat mampu membangunkan rakyat dari
"tidur lelapnya". Rakyat kita sadar kembali bahwa bangsa Indonesia
adalah bangsa besar yang memiliki harkat dan martabat yang besar pula.
Nusantara adalah milik kita bukan milik penjajah. Pendek kata Sukarno
mampu membangkitkan semangat nasionalisme yang tinggi pada rakyatnya.
Sedangkan Moch Hatta adalah pemimpin panutan karena kejujuran,
keikhlasan dan kekonsistenannya dalam berjuang. Ia dikenal sebagai
ahli strategi konsep ekonomi kerakyatan yang tidak ada duanya saat
ini. Argumen-argumen dan alasan yang disampaikan rasional, cerdas dan
tajam sehingga membawa decak-kagum pengikutnya.

Kehebatan para pemimpin seperti tersebut diatas menjadi terasa tidak
lengkap manakala tidak disertai dengan kebesaran jiwa dan semangat
persatuan dan kesatuan para pemimpin Agama kita. Dari kalangan Islam
sebut saja KH Mas Mansyur, Anwar Tjokro Aminoto, KH Wahid Hasyim dan
lain-lain. Sedangkan dari kalangan Non Islam seperti: Mr AA Maramis,
Mr Latu Harhary, Dr. Sam Ratulangi dan lain-lain. Ketika
memperdebatkan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 masing-masing
menampakkan kebesaran jiwanya, demi untuk menjaga persatuan-kesatuan
bangsa mereka dengan tulus ikhlas menerima rumusan Sila Ketuhanan Yang
Maha Esa.

Rekontruksiulang Semangat Nasionalisme kita.

Dari refleksi historis ditentukan sejumlah karakter bangsa Indonesia
yang telah teruji selama berabad-abad yaitu patriotisme, kemandirian,
harkat nasional dan kebanggaan nasional. Karena karakter tersebutlah
maka perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme hingga
dicapainya ""kulminasi" perjuangan yakni Kemerdekaan Indonesia pada
tahun 1945.

Dalam keterkungkungan neoliberalisme dan ekonomi pasar bebas seperti
sekarang ini karakter bangsa seperti itu masih sangat diperlukan, oleh
karena itu perlu direkontruksi ulang sebagai "bahan acuan" pembangunan
bangsa kedepan. Semangat kebangkitan nasional adalah semangat
perjuangan yang tidak mengenal kata lelah untuk rela berkorban,
menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan, menghargai sesama anak
bangsa, bekerja sama dengan penuh kekeluargaan dan kegotongroyongan
serta mencintai tanah air seutuhnya.

Menurut Dr Sukamto dan kawan-kawan (Fasli Jalal, 2001) Patriotisme dan
perlawanan terhadap penjajah selama 350 tahun telah memperkokoh
persatuan nasional tanpa konflik antar etnik dan antar agama. Bhineka
Tunggal Ika tidak mengandung potensi konflik apabila diartikan secara
benar dan keberagaman dikelola dengan baik. Tuntutan otonomi penuh dan
kemerdekaan oleh daerah tertentu lebih karena rasa keadilan yang
terusik baik secara ekonomi maupun sosial budaya. Persatuan nasional
akan tetap menjadi pengikat kesatuan bangsa, bila prinsip-prinsip
keadilan dilaksanakan secara benar.

Berkembangnya "koalisi vested" di Era Orde Baru yaitu koalisi untuk
mempertahankan kekuasaan dan selanjutnya menyalahgunakan kekuasaan
dalam bentuk pemerintahan yang "kolutif", koruptif dan Nepotis"
kiranya bukan hal yang tidak bisa diatasi dan diberantas sepanjang ada
kesungguhan dari pemerintah untuk membasminya. Kita harus optimis
bahwa moral demokrasi, moral kemanusiaan, mampu menyelamatkan
kehidupan berbangsa dan bernegara dari ancaman tindakan itu. OLeh
karena itu dalam konteks Globalitas yang menggurita ini.. mari kita
bangkitkan kembali semangat nasionalisme kebangsaan kita!.

Salam Hangat
Robby Sirait.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ekonik3 - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger