SISI LAIN DARI KONGRES PARTAI SOSIALIS PERANCIS [PSP]

Kamis, 27 November 20080 comments

Kongres Reims PSP baru saja berakhir Sabtu lalu.Kongres bermaksud utama memilih Sekretaris Jenderal [Sekjen]Partai, menggantikan François Hollande, sekretaris lama yang menjabat kedudukan ini selama dua periode atau 11 tahun. Kedudukan Sekjen menjadi sangat enting karena dialah yang akan memimpin kehidupan Partai selama masa jabatannya. Memberi warna pada politik Partai. Kongres ini mendapat perhatian semua kalangan politisi dan rakyat Perancis, karena PSP merupakan partai terbesar dan berpengaruh pada kehidupan politik Perancis, selanjut berdampak langsung pada kehdupan seluruh rakyat negeri ini, Pada masa pemerintahan Nicolas Sarkozy dengan UMP sebagai partai berkuasa, PSP merupakan oposisi utama yang mampu mengimbangi UMP. PSP dan UMP, kelanjutan dari RPR, kekuatan utama kekuatan kanan di Perancis bersama sekutu masing-masing, ,berkuasa silih berganti.

Yang menarik perhatian saya dalam Kongres Reims PSP ini adalah pertarungan sengit antara dua politisi perempuan yaitu Segolène Royal dan Martine Aubry yang memperebutkan posisi Sekjen. Segolène mantan calon PSP dalam pemilihan presiden pada tahun 2005 sedangkan Martine Aubry ,puteri Jacques Delor, mantan presiden Masyarakat Eropa, walikota Lille, Perancis Utara, duanya mantan menteri pada kabinet Lionel Jospin, kader-kader godokan François Mittterrand. Pertarungan antara kedua politisi perempuan ini memastikan bahwa untuk pertama kalinya PSP dipimpin oleh seorang perempuan. Perhitungan pemilihan babak kedua menyatakan bahwa Martine Aubry terpilih sebagai Sekjen PSP dengan kemenangan 42 suara atau 0,04% ,,terutama berasal dari Lille. Kubu Segolène Royal menuduh telah terjadi kecuranngan pada angka 42 suara ini, karena pada pemilihan babak pertama Segolène berhasil mendapat tempat jauh lebih unggul dari Martine Aubry dan Benoït Hanom, calon termuda dari tiga calon yang tersiaa. Kubu Royak meminta kepada pimpinan pusat PKP untuk menyelenggarakan pemilihan ulang, kalau tidak akan menggugat yang disebutnya "kecurangan" ini ke Pengadilan Negeri .


Sebagai politisi dan kader PSP, baik Segolène mau pun Martine sama-sama lulusan perguruan tingg terkemuka di Perancis dan tumbuh dari basis. Jumlah politisi dan menteri perempuan di negeri ini meningkat sejak masa Kabinet Jospin. Melalui kegiatan lapangan dan dengan latar pendidikan tinggi demikin, keduanya tumbuh menjadi politisi secara bertahap serta mencapai kematangan politik.


Tumbuhnya barisan politisi perempuan bukanlah suatu keadaan mendadak atau serta-merta, tapi melalui suatu proses panjang, buah dari perjuangan pahit-getir merebut hak perempuan. Setelah Perang Dunia II [PD II] , dengan kekalahan Jerman Hitler, Charles de Gaulle sekembalinya dari pengasingan di Inggris, segera menyelenggarakan pemilu. Pada pemilu pertama setelah PD II, para perempuan tidak diikut-sertakan dalam pemilu. Bahkan untuk pekerjaan yang sama perempuan digaji dengan imbalan yang berbeda dari lelaki.


Kemudian perkembangan "bangunan bawah" mendorong meletusnya Revolusi Mei 1968, yang mendorong perobahan dibangnan atas [super structure]. Gerakan femininisme yang antara lain diberi dasar teori oleh Simone de Beauvoir dengan "The Second Sex"-[Seks Kedua-nya ] berkembang marak dengan laju tak tertahankan. Revolusi Mei 1968 merobah wajah mental dan kebudayaan Perancis. Barisan politisi perempuan tumbuh membesar. Segolène Royal dan Martine Aubry adalah hasi wajar dari proses panjang ini , seperti halnya mereka sendiri pun tumbuh menjadi politisi melalui proses juga. Bukan buah dari katrolan atau politisi katrol.


Kematangan menyeluruh seorang politisi, barangkali merupakan hal penting jika kita sepakat dengan pandangan bahwa masalah politik merupakan cerminan terpusat segala kepentingan, terutama kepentingan ekonomi yang keludian dijabarkan dalam berbagai undang-undang, ketetapan dan peraturan-peraturan. Misalnya, di Perancis ditetapkan oleh peraturan pemerintah bahwa pada hari libur dan hari-hari besar, apotik dan toko-toko roti tidak diperkenankan untuk tutup semua. Di tiap kartir, harus ada apotik dan toko roti yang buka. Harga-harga obat dan roti pun ditetapkan batas tertingginya oleh pemerintah. Melalui peraturan pemerintah jugalah di Paris ditetapkan batas kecepatan mobil dan bahkan pernah ada hari bebas mobil sehingga para menteri menggunakan metro, kereta ai bawah tanah, kendaraan umum yang paling banyak digunakan oleh penduduk atau bahkan nak sepeda menuju kantor kementeriannya. Melalui politik yang dijabarkan ke dangan peraturan menteri, pada masa Charles Fitterman sebagai mentMenteri Transport pada masa François Mitterrand menjadi Presiden Perancis , pembedaan kelas-kelas di metro ditiadakan. Dan Martine Aubry ketika menjadi menteri, untuk menciptakan lapangan kerja bagi angkatan muda, membuat peraturan yang dikenal sebagai "Tiga Puluh Lima Jam" [le 35 heuresl seminggu. Mendorong perkembangan "part-time" kerja.


Jika politik, benar berfungsi seperti demikian, benar dampaknya bagi kehidupan masyarakat demikian besar dan langsung, maka melalui alinea-alinea di atas, masalah yang saya pertanyakan adalah apa-bagaimana syarat-syarat yang diperlukan oleh seseorang yang ingin menjadikan politik sebagai profesinya?


Sebagai ilustrasi, di sini saya ingin mengangkat kasus seorang pembersih kamar kecil [toilette] di sebuah hotel besar di Beijing, ibukota Republik Rakyat Tiongkok [RRT] . Kisah ini saya dapatkan ketika saya bekerja di Kantor Berita Hsinhua pada tahun 65an dan disediakan sebuah kamar di Hu Ping Fantien [Hotel Perdamaian] sebagai tempat tinggal. Cerita punya cerita, saya dapatkan keterangan bahwa seorang lelaki yang pekerjaannya sebagai pembersih toilette, telah terpilih menjadi anggota Kongres Rakyat -- semacam parlemen di RRT. Ia dicalonkan oleh grup hotelnya karena bolak-balik menjadi pekerja teladan. Keteladannya bukan hanya dalam membersihkan toilette tapi juga dalam kehidupa sehari-hari, dalam pemikiran-pemikirannya, dalam belajar.Masalah belajar di kalangan masyarakat Tiongkok bukanlah terbatas di sekolah-sekolah formal, tapi semua tempat kerja mempunyai grup-grup belajar -- terutama belajar politik. Kegiatan belajar ini diselenggarakan terseoranisasi oleh grup-grup kolektif di semua tempat kerja. Sehingga para pekerja dari satuan-satuan kerja mendapatkan kesadaran politik yang terus meningkat. Dengan syarat-syarat begini, jika seseorang pembersih toilette, selaln mempunyai kemampuan berbicara teori, ia pun tahu situasi politik dalam dan luar negeri. Tahu keadaan lapangan,terutama wilayah kerjanya. Mempunyai kemampuan mengalisa masalah, sehingga ia pun tidak canggung berbicara sebagai anggota Kongres Rakyat. Memebersihkan toilette jadinya semacam pembagian kerja dalam masyarakat. Bukan ukuran tinggi rendah martabat seseorang.


Kemudian pada tahun 2005, setelah menyelesaikan kunjungan di Kalimantan Timur, melalui Banjemasin, saya kembali ke kampung saya di Kalimantan Tengah. Katingan , sungaiku yang terdiri dari kurang lebih 11 kecamatan resmi menjadi kabupaten. Tadinya, sebelas kecamatan ini hanya bertingkat kecamat Katingan Hilir. Yang ingin saya ceritakan di sini adalah terpilihnya atau mung,in lebih tepat ditunjuk oleh partai pemenang seorang penjual bensin eceran di sungai sebagai wakil bupati. Orang kampungku tersenyum sinis di hadapan kenyataan ini. Senyum tahu sama tahu [t-s-t] akan tingkat pengetahuan dan kesadaran politik sang penjual bensin eceran yang menurut dugaanku akan berbeda dari tingkat pembersih toilette di Bejiing yang saya ceritakan di atas. Penjual bensin eceran ini naik ke jabatan wakil bupati karena partai politik dan uang bukan karena keteladanan, pengetahuan dan kesadaran seperti pembersih toilette hotel di Beijing.


Sehubungan dengan ilustrasi ini, saya tersenyum sendiri mendengar berita dari surat listrik -- sulis -- [e-mail] bahwa teman-teman yang pernah saya rekrut ke LSM yang saya bangun waktu bekerja di tanahair, pada berlomba-lomba mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Tersenyum dengan menggumamkan sendiri pertanyaanku di atas sambil bertanya-tanya pada diri: Mau ke mana Kalimantanku, sungaiku, kabupatenku dengan tenaga-tenaga yang pas-pasan [kaha-kaha, ujar orang Dayak].Apa siapa yang mereka wakili. Apa yang dikerjarnya? Benarkah mereka penyambung lidah orang kampung dan bakal membela kepentingan orang kampung?


Kegetiran perasaan ini juga ketika saya membaca tuntutan agar di badan legislatif, kepada para perempuan, dicadangkan jumlah 30 persen. Tentu menggembirakan jika para perempuan yang oleh orang Tiongkok Kuno disebut sebagai "penyangga separo langit", aktif di politik. Langsung membela kepentingan mereka yang ditindih oleh tiga gunung besar: feodalisme, paternalisme dan kaital monopoli. Hanya masalahnya dan pertanyaan saya: politisi perempuan berkadar bagimana? Apakah bukan merupakan bagian dari permainan partai-partai politik yang asing dari rakyat? Apalagi jika kita membandingkannya dengan kemunculan para politisi perempuan di Perancis. Kadar merekan proses kemunculan mereka, kemampuan mereka. Kadar wacana mereka. Daya analisa mereka sebagai anggota legislatif. Komitmen untuk apa?Daya tarung mereka? Kebebasan berpikir mereka?


Kongres Reims PSP menyuguh saya dengan suatu perbandingan yang membuat saya merenung saat melihat tanahair lalu memunculkan di hati rasa yang oleh orang Jawa disebut "ngenes". Salahkah melakukan suatu perbandingan jika perbandingan itu bersifat sebagai kaca diri? Memberkan kita suatu target capaian? Terlalu tinggikah perbandinganku? Mengapa kita mesti menggunakan standar rendah? Tidak relevankah? Tidak relevanlah mengharapkan politisi, baik perempuan atau lelaki, dengan standar seorang politisi profesional? Kalau cara berpikir saya benar, barangkali akan menarik juga jika kita membandingkan politis-politisi perempuan negeri kita dengan negeri-negeri lain, termasuk Perancis.


Tampilnya Segolène Royal dan Martine Aubry yang berebut untuk jadi Sekjen PSP, salah satu partai terbesar hanya menggarisbawahi peranan politisi perempuan berkadar di dunia politik Perancis yang tumbuh melalui proses berliku. Yang kian marak sejak François Mitterrand menjadi presiden pada tahun 1981. Setelah itu kita melihat Partai Hijau dipimpin oleh Dr [Med] Dominique Voynet [sekarang walikota Montreuil], Christine Le Pen menggantikan Le Pen ayahnya memimpin Front Nasional yang berkenderungan Neo-Nazi, Madame Buffet memimpin Partai Komunis Perancis Sarikat. Sarikat para majikan dan pengusaha sekarang pun dipimpin oleh seorang perempuan. Peranan bertanggungjawab perempuan di berbagai bidang yang makin hari makin menonjol di berbagai kehidupan. Saya kira penekanan inilah yang merupakan sisi lain dari Kongres Reims PSP kali iui.****


Perjalanan Kembali, Musim Dingin 2008
------------------------------------------------------
JJ. Kusni


Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ekonik3 - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger