Oleh MD Kartaprawira*)
Pertama-tama saya sampaikan apresiasi saya yang setinggi-tingginya kepada para peserta konferensi Pemuda Pelajar Indonesia di Luar Negeri, yang berlangsung di Den Haag tanggal 25 – 26 Oktober 2008 dengan mengangkat tema maha penting dewasa ini: "Revitalisasi Semangat Kebangsaan Pemuda dan Pelajar Indonesia: Menggagas Kebijakan Pendidikan yang berperspektif Kebangsaan".
Dari tema tersebut tampak kejelian Panitia Konferensi melihat realita negara dan bangsa dewasa ini, di mana semangat kebangsaan telah merosot jauh sehingga yang tampak hanyalah semangat hedonisme, individualisme, golonganisme, nepotisme dll. Para elit bangsa hanya mengurusi kepentingannya sendiri-sendiri, mengabaikan kepentingan bangsa secara keseluruhan, menutup mata dan telinga terhadap kesengsaraan rakyat di segala bidang. Hal-hal tersebut kita lihat perwujudan konkrit menjamurnya tindak kriminal korupsi di semua institusi negara. Karena kesadaran akan rasa kebangsaan hilang maka ramai-ramai menjarah, merampok dan melelang-obral kekayaan alam bangsa dan negara. Justru mereka-mereka itulah pemuda "harapan bangsa" yang kebanyakan produk era Orde Baru.
Yang sangat mengerikan ialah wabah KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) dalam segala perwujudannya telah merata menjangkiti tubuh institusi-intitusi tinggi negara: Mahkamah Agung, DPR, Kejaksaan Agung, terutama di Eksekutif. Dengan KKNlah para bandit di institusi-institusi negara telah berhasil melelang kekayaan alam Indonesia kepada kaum finansial global dan menggunduli hutan-hutan. Anwar Nasution, ketua BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dalam konferensi tersebut menyatakan bahwa dewasa ini BPK telah berjasa dalam pengungkapan banyak kasus korupsi, sebab data-data yang merupakan bukti tindak kriminal berasal dari BPK. Sehingga dalam kasus korupsi jenderal, gubernur, anggota DPR dewasa ini dapat dimasukkan dalam penjara. Memang hal tersebut merupakan suatu kemajuan, yang pada masa-masa lampau, terutama pada jaman Orde Baru tidak pernah terjadi. Salut untuk BPK.
Tetapi pertanyaannya, apakah BPK berani memeriksa keuangan institusi-institusi negara pada jaman Orde Baru, yang justru di jaman itu keuangan negara banyak dikuras oleh para pejabat. Mungkin ada yang masih ingat ketika menteri-menteri Suharto yang jelas terbukti melakukan korupsi, selalu diloloskan dari pertanggung jawaban hukum dengan alasan salah prosedur. Dan dengan kata sakti penguasa Orde Baru "salah prosedur" diamlah dalam seribu bahasa Kejaksaan Agung dan para penyelenggra negara lainnya. BPK seyogyanya dalam bekerja tidak setengah-tengah dan tidak tebang pilih, supaya tidak terjadi impunitas.
Melihat kenyataan dewasa ini, ternyata apa yang terjadi pada jaman Orde Baru masih terus berlangsung sampai sekarang, meskipun rejim Orde Baru resminya sudah berakhir. Hanya bedanya pada jaman Orde Baru penjarahan tersebut dilakukan di bawah perlindungan rejim Orde Baru, sedang dewasa ini penjarahan dilakukan di bawah pengayoman dan restu kaum neoliberal (system neoliberalisme). Dengan demikian merosotnya semangat dan jiwa kebangsaan menjadi tak terkendalikan, di samping menipisnya nilai-nilai etika, budaya, agama, susila, toleransi, kegotong-royongan. Hal tersebut tidak boleh tidak adalah buah dari kebijakan rejim Orde Baru selama 32 tahun berkuasa. Maka ketika Dubes Junus Effendi Habibie dalam sambutan pembukaan konferensi mengatakan bahwa Orde Baru ada baik dan ada buruknya, tidak semuanya jelek, perlu mendapat sorotan kritis.
Sepintas lalu pernyataan Dubes Habibie tersebut mengandung kebenaran, sebab Orde Baru memang memiliki sisi baik dan sisi jeleknya. Tapi kita harus menimbang sisi baiknya seberapa, dan sisi buruknya seberapa. Menurut penulis sisi buruk Orde Baru luar biasa besarnya ketimbang sisi baiknya. Dalam bidang HAM, Orde Baru dibangun di atas pembantaian 3 juta manusia tak berdosa, pembuangan puluhan ribu orang ke pulau Buru dan penjeblosan ke penjara-penjara. Itulah pelanggaran HAM berat dilakukan rejim Orde Baru-Suharto. Dalam bidang politik, demokrasi diinjak-injak dengan semena-mena. Dengan ditopang kekuasaan bedil Orde Baru menyalahgunakan kelemahan UUD 45, sehingga semua alat perlengkapan negara: MPR, DPR, DPA, Mahkmah Agung, BPK, Bapernas menjadi perpanjangan tangan Eksekutif/rejim Orde Baru Suharto. Apa saja yang dimaui, selalu mereka setujui. Bagaikan titah Tuhan "Kun fa yakun" (Jadi, maka jadilah). Tidak ada yang berani berkata tidak.
Mungkin yang dikatakan kebaikannya oleh para penyayang rejim Orde Baru adalah pembangunan" (dalam tanda kutip!) dengan dana hutang luar negeri yang luar biasa besarnya, sehingga Indonesia praktis terjerat kaki tangannya oleh kaum neoliberalis. Sampai sekarang! Kekayaan alam ludes. hutan jadi gundul. Kesengsaraan dan kemelaratan rakyat terus menjadi-jadi. Sangat memalukan kalau hal tersebut disebut sisi kebaikan Orde Baru.
Benarlah apa yang dikatakan H.S. Dillon dengan lantang dan tajam dalam diskusi panel konferensi tersebut bahwa Trisakti yang diajarkan Bung Karno: "Berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, berkepribadian dalam bidang kebudayaan" dewasa ini sama sekali tidak ada. Jelas, apa yang dikatakan Dillon tersebut memberi ketegasan pula bahwa nasionalisme di Indonesia sudah tidak ada, kalau ada pun merupakan nasionalisme loyo, sebab neoliberalisme sudah mencengkeram bangsa dan negara Indonesia.
Dalam situasi yang demikian sungguhlah sangat perlu kita kembali lagi ke seruan JASMERAHnya Bung Karno: "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah". Dengan Jas Merah tersebut kita bisa mawas diri kembali terhadap apa-apa yang telah terjadi pada masa lampau, baik yang negatif maupun yang positif. Tentu saja yang negatif harus kita buang jauh-jauh, sedang yang positif harus kita pegang untuk menatap masa depan yang gemilang.
Kalau pada jaman pra-kemerdekaan nasionalisme ditempa atas dasar kesadaran bersatu melawan penjajahan (kolonialisme) Belanda, maka jaman sekarang untuk menghidupkan kembali (revitalisasi) nasionalisme harus ditempa atas dasar kesadaran untuk melawan kemiskinan dan pemiskinan yang diakibatkan dilanjutkannya terus kebijakan Orde Baru dan Neoliberalisme.
Semangat Kebangkitan Nasional bangsa Indonesia (1908), Sumpah Pemuda (1928), Pancasila (1 Juni 1945), Revolusi Agustus 1945 dan tentu saja semangat perjuangan gerakan pemuda dan Pelajar Indonesia di Negeri Belanda (terutama Perhimpunan Indonesia) merupakan api maha dahsyat yang sanggup membakar dan menempa kembali nasionalisme Indonesia sebagaimana yang dicita-citakan para founding fathers kita. Inilah jalan sukses menuju revitalisasi jiwa dan semangat nasionalisme Indonesia – nasionalisme kerakyatan.
Untuk revitalisasi semangat kebangsaan diperlukan kejelian menyingkap sebab-sebab mengapa semangat kebangsaan pemuda dan pelajar menjadi redup. Perlu disadari bahwa revitalisasi semangat kebangsaan bukanlah hal yang mudah. Untuk melakukan revitalisasi memerlukan kesadaran mendalam dan tindakan tegas yang konsekwen ke arah tujuan tersebut. Inilah perjuangan besar penuh tantangan. Tidaklah salah jalan keluar untuk mendobrak kenyataan gelap tersebut melalui kanal pendidikan: "menggagas kebijajakan pendidikan yang berperspektif kebangsaan" sebagaimana diangkat dalam tema konferensi Pemuda dan Pelajar Indonesia tersebut. Hal ini berarti harus menolak kebijakan pendidikan yang berbau sistem neoliberalisme, yang mengakibatkan banyak korban dari para remaja dan pemuda yang karena tidak sanggup menanggung biaya sekolah sehingga tidak mendapat kesempatan untuk dapat masuk sekolah atau melanjutkan sekolah.
Kenyataan tersebut sangat menyedihkan, bahkan dalam sejarah pendidikan di Indonesia belum pernah bidang pendidikan mendapatkan tempat yang penting, kecuali di masa pemerintahan Soekarno yang membuka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (DEP. P&K) dan Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (Dep. PTIP). Di Masa itulah dibuka bermacam-macam pendidikan berbagai bidang ilmu pengetahuan dari tingkat sekolah lanjutan sampai tingkat akademi/perguruan tinggi, yang bisa menampung pelajar-pelajar dengan biaya negara. Dan di masa itulah dikirim ribuan mahasiswa untuk belajar keluar negeri untuk menjadi spesialis berjiwa nasionalis-patriotik dipelbagai lapangan ilmu pengetahuan. Sebelum berangkat ke luar negeri mereka mendapat indoktrinasi beberapa hari mengenai Pancasila, UUD 1945 dan pengarahan-pengarahan yang bersifat kebangsaan, dengan demikian mereka di luar negeri tidak akan "sesat jalan", dan ketika pulang ke tanah air tidak membawa racun neoliberalisme.
Menurut Pasal 28C ayat 1 UUD 45 "setiap orang berhak mendapatkan pendidikan, …". Bahkan karena pentingnya pendidikan bagi bangsa dan negara Pasal 31 ayat 4 menetapkan "prioritas anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% APBN serta APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional". Tapi sampai sekarang pasal tersebut sepertinya tidak ada, dengan sengaja pasal tersebut tidak dijalankan oleh pemerintah. Apapun alasannya hal tersebut tidak bisa dibenarkan, sebab ketentuan dalam UUD tidak boleh dilanggar baik oleh pemerintah/eksekutif, DPR/legislative mau pun yudikatif/Mahkamah Agung dan institusi negara lain-lainnya.
Satu hal yang penting mendapat perhatian ialah perlunya Kesadaran Kebangsaan, seperti telah disinggung di atas. Sebab sebaik apa pun rekomendasi konferensi atau bahkan sebaik apapun kebijakan yang tertuang dalam keputusan pemerintah, tetap hanya berwujud tumpukan ketas saja apabila Kesadaran kebangsaan tidak ada. Telah terbukti banyak aturan perundang-undangan yang cukup bagus, tetapi toh selalu dilanggar begitu saja di institusi-institusi negara, karena mereka sudah tidak memiliki lagi jiwa nasionalisme kerakyatan: di kementerian, kejaksaan agung, mahkamah agung, Dewan Perwakilan Rakyat, KPU, apalagi mereka-mereka yang di tingkat wilayah Otonomi Daerah yang bertingkah sebagai raja kecil, beramai-ramai melakukan korupsi, melupakan dan merugikan kepentingan bangsa dan negara. Jiwa nasionalisme akhirnya sirna, sedang budaya korupsi-kolusi-nepotisme terus merajalela.
Semoga konferensi PPI tersebut berhasil dengan sukses besar dalam usaha-usaha revitalisasi semangat kebangsaan pemuda dan pelajar Indonesia.
Den Haag, 26 Oktober 2008
*) Ex-anggota PPI Moscow angkatan 1963, Peserta-tamu konferensi PPI Luar Negeri di Den Haag, Sekretaris Korwil PDIP Negeri Belanda, Ketua Umum Lembaga Korban 1965 Negeri Belanda.
Posting Komentar